Jumat, 08 November 2013

Pendidikan Lingkungan Hidup











yopie saiba

Pendidikan Lingkungan Hidup


Manusia terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi penting digerakkan terlebih dahulu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana memulai pendidikan lingkungan hidup? Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai dari HATI. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.
Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup
Pendidikan Lingkungan Hidup: dalam buku catatan
Pada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran ?Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH)?. Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran
Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.
Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.
Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup, tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi, buku-buku bacaan dan lain-lain.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.
Pendidikan Lingkungan Hidup: bahan dasar yang dilupakan
Salah satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut:
Pendidikan lingkungan Hidup (environmental education – EE) adalah suatu proses untuk membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif , untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco, (1978)]
PLH memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan yang dapat meningkatkan ?kemampuan memecahkan masalah?.
Beberapa ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut ini.
·      Berkomunikasi: mendengarkan, berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
·      Investigasi (investigation): merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
·      Ketrampilan bekerja dalam kelompok (group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.
Pendidikan lingkungan hidup haruslah:
1.    Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
2.    Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
3.    Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
4.    Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
5.    Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
6.    Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
7.    Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
8.    Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
9.    Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
10.                        Membantu peserta didik untuk menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
11.                        Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
12.                        Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).
Karena langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat mempermudah pencapaian ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti :
1. berfikir kritis
2. berfikir kreatif
3. berfikir secara integratif
4. memecahkan masalah.
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
1.    Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih, Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
2.    Pilar Sosial: menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan, Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
3.    Pilar Lingkungan: menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman hayati, dan Penataan ruang
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu ?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif? sampai ke tingkat ?kesadaran kritis?, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice of the consciousness).
Joseph Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan permainan di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979 ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning).
Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah:
·      Aspek afektif: perasaan nyaman, senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
·      Aspek kognitif: proses pemahanan, dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
·      Aspek sosial: perasaan diterima dalam kelompok
·      Aspek sensorik dan monotorik: bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
·      Aspek lingkungan: suasanan ruang atau lingkungan
Pendidikan Lingkungan Hidup: terjerumus di jurang pembebanan baru
Pendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Pada dua tahun terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan ditengah hiruk pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif baru bermunculan. Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama Internasional, lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang menjadi salah satu muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan. Sementara saat ini sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau dan Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya muatan lokal beraroma pendidikan lingkungan hidup.
Tak ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari Pendidikan Lingkungan Hidup itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku, modul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap aktivitas pembuatannya. Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya.
Pendidikan Lingkungan Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas. Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada frustasi berkelanjutan.
Sangat penting dipahami, bahwa pola Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan berbagai teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan, kesemuanya bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan berkreasi sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Bila tidak, lupakanlah.
Demikian pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang mampu membangitkan kesadaran kritis. Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran kritis inilah yang akhirnya akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam kurikulum muatan lokal. Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru.
Pendidikan Lingkungan Hidup: duduk, diam, dan bercerminlah
Sejak 2001, disaat pertama kali kawan-kawan pegiat PLH di Kaltim berkumpul, telah lahir berbagai gagasan dan agenda yang harus diselesaikan. Namun karena bukan menjadi PRIORITAS, maka hal ini menjadi bagian yang dilupakan.
Di tahun 2005 ini, geliat PLH masih bergerak-gerak ditempat. Bagi yang memiliki dana, muatan lokal menjadi sebuah pilihan, karena akan lebih mudah mengukur indikator keberhasilannya. Bagi yang tidak memiliki dana, mencoba tertatih-tatih di ruang sempit untuk tetap berjalan sesuai dengan cita-cita sebenarnya dari PLH, yaitu membangun generasi yang memiliki KESADARAN KRITIS sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?KESADARANNYA KESADARAN?.
Kepentingan untuk PERCEPATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP, haruslah dimaknai bukan untuk mengELIMINASI pondasi dasar PLH. Tidak kokohnya pondasi akan mengakibatkan kehancuran sebuah bangunan, semewah apapun ia. Kehausan akan target proyek, capaian indikator, pekerjaan, hanya akan menjadikan PLH sebagai sebuah obyek mainan baru, bukan lagi sebagai sebuah nilai yang sedang dibangun bagi generasi kemudian negeri ini.
BERCERMINLAH untuk sekedar meREFLEKSIkan diri. Ini yang penting dilakukan oleh pegiat PLH. Bukan untuk berlari mengejar ketertinggalan. Tidak harus cepat mencapai garis akhir. Berjalan perlahan dengan semangat kebersamaan akan lebih menghasilkan nilai yang tertancap pada ruang yang terdalam di diri.

APAKAH YANG SEDANG KITA LAKUKAN HANYA AKAN MENJADI PEMBEBANAN BARU BAGI GENERASI KEMUD


dalam memandang persoalan, kita bisa melihatnya dengan benci, apatis, atau dengan kasih. Hemat saya, saat ini PLH dipandang dengan apatis. Saya lebih suka jika saat ini ada momen yang membuat opini kasih atau malah benci dengan PLH. Karena dari benci bisa dilentingkan menjadi kasih akan alam.. lain halnya jika apatis alias “so what (gitu lo)”
ambillah contoh rinso.. yang saat ini berkampanye “berani kotor” di teve. Dulu, kotor dan bersih hanya urusan yang mencuci baju. Saat ini, kebencian akan cucian kotor (oleh pencuci) dilentingkan menjadi “berani kotor”.. jadi urusan semua orang..
intinya.. perlu ada sesuatu yang mengkaitkan PLH dengan kehidupan sehari-hari secara “emosional” (sebal berkotor-kotor dengan tanah, senang bermain air di sungai, –> makanan asalnya dari tanah, minum dari sungai)

harapan saya ga muluk-muluk… jika anak didik saya mau membuang sampah pada tempatnya,
syukur alhamdulillah


bang, saya bikin tanggapan, tapi panjang. jadi saya tulis di blog saya, yang juga diupload di biophilia.

Pendidikan lingkungan sangat penting bagi usia dini dikarenakan pendidikan tersebut berguna dalam menjaga kelestarian lingkungan dan memanfaatkan lingkungan untuk kehidupan.
Kalau dilihat dari kejadian sekarang ini yang disebabkan oleh lingkungan seperti, banjir, longsor dll itu diakibatkan dari ulah manusia yang kurang mengendalikan keinginan dalam memanfaatkan lingkungan menyebabkan kerusakan-kerusakan.
pendidikan Generasi muda/siswa harus dilakukan tetapi bukan menjadi beban mereka karena kerusakan terjadi akibat ulah bersama, dan siswa yang diberi pendidikan lingkungan harus bis mensosalisasikan kepada teman-temannya dalam menjaga lingkungan.

sori, kalau baru baca. Menurut aku pribadi, pendidikan PLH dapat dimulai dari hal-hal sederhana ysng berupa kerja nyata. Misalnya, tiap sekolah buatlah proyek kerja nyata. Mulailah dengan menanam satu bibit di tanah. Ajaklah anak2 untuk memelihara pohon dengan ikut serta menyirami dan merawatnya. Tunjukkan betapa lamanya sebuah pohon tumbuh.Hubungkan dengan teori2 tentang akibat2 yang terjadi bila sebuah pohon ditebang sembarangan. Dengan demikian, mereka belajar menyadari pentingnya peran pohon dalam kehidupan ini. Dengan kesadaran lewat praktik nyata ini diharapkan mereka akan lebih peduli pada lingkungannya. Bila di sekitar sekolah itu ada lahan gundul akibat peembabatan hutan, mengapa siswa tidak di ajak berperan serta untuk menghijaukannya kembali? Ajaklah mereka mengumpulkan bibit dari sekitar rumah mereka dan membawanya ke hutan (untuk karya wisata, misalnya) tempat mereka bisa menanamnya.
Bayangkan. Bila satu kelas dalam satu sekolah melakukan ini setidaknya sekali dalam setahun, berapa banyak lahan gundul yang dapat diselamatkan!
jadi, lebih baik kita langsung bergerak, tak perlu menunggu keputusan rapat bersama. Mulailah dari hal-hal sederhana tapi nyata.
aku sepakat dengan pendidikan lingkungan diterapkandalam kurikulum sekolah, dan aku rasa semua orang sudah menyadari akan pentingnya pendidikan lingkungan tersebut.
dan para pemerhati lingkungan sudah tahu tentang teori mengenai pendidikan yang integral-holistik. yang jadi permasalahan adalah belum adanya suatu kurukulum mengenai pendidikan lingkungan yang disosialisasikan pada khalayak umum. yang ada hanyalah penguasaan kurikulum pada instansi atau lsm. jika mereka LSM atau instansi benar2 komitmen pada lingkungan hidup seharusnya mereka bisa membagi “pengetahuan” yg lebih tersebut kepada masyarakat. sehingga kurikulum lingkungan hidup bisa diterapkan dimana saja dan kapan saja dan oleh siapa saja!

dalam hal pendidikan lingkungan tidak bisa dipandang sebelah mata dan tidak bisa pula dibebankan pada sekelompok orang saja intinya harus ada kerjasama berbagai pihak
seperti yang sedang saya lakukan di pontianak kalimantan barat.
saya butuh masukan dan referansi guna penyuksesan programe ini

untuk di Kalbar, sila kontak Kepala Bapedalda Propinsi Kalbar, tahun kemarin ada beberapa bahan saya kirimkan ke beliau.

pendidikan lingkungan, di indonesia tak pernah ada yang tuntas sampai pada penilaian dampak pembelajaran, selalu terputus, ada program ada buku, ada proyek, ada kesibukan! sekolah dijadikan kelinci percobaan, megap-megap diantara tuntutan meluluskan siswa, mencoba berlari mensejajarkan kapasitas dengan kebijakan negeri yang selalu berubah cepat, tidak konsisten!
Lembaga asing kasih funding, bikin buku, aktivis dapet peran, guru dilatih, hanya itu, soal pembelajaran itu mampu mengubah karakter itu urusan nanti, program selesai, tinggal puing plh saja.
orang-orang rame teriak setuju plh diterapkan! untuk evaluasi, nol!, peran orang tua tak pernah digali, peran ibu tak pernah dilirik, peran pengawas sekolah tak pernah dipandang, PLH Gagal!
PLH erat kaitannya dengan sikap, tapi justeru strategi psikologi tak pernah dibongkar untuk disandingkan dengan metode penerapan, hingga akhirnya outcome plh hanya mimpi.
Buatku, PLH justeru akan lebih kuat jika disandingkan dengan startegi psikologis dengan melibatkan peran orangtua siswa.
saya setuju dengan pendidikan lingkugan
kebetulan saya di minta untuk ngajar pendidikan lingkungan di sebuah PGTK di bulan agustus depan.
ada yang bisa bantu saya tentang modul-modul yang up to date. saya kebetulan sudah 5 tahun tidak menangani tentang lingkungan walaupun back ground saya kehutanan.
terima kasih

Setuju dengan Sylvie, pendidikan lingkungan tidak bisa dibebankan di pundak guru sekolah. Seperti pendidikan lainnya, pendidikan lingkungan terhadap anak juga tanggung jawab orang tua. Anak lebih banyak meniru orang tua ketimbang gurunya, misalnya menanamkan kebiasaan buang sampah di tempatnya. Sayangnya, banyak penduduk dewasa Indonesia kurang peduli akan hal ini. Penyadaran terhadap mereka harus dilakukan. Tidak ada salahnya bila pendidikan lingkungan dimasukkan dalam “kurikulum” kegiatan keagamaan. Misalnya dalam pengajian di lingkungan RT/RW dan diskusi di gereja. Di beberapa daerah di Indonesia, tokoh agama dan adat memiliki kekuatan untuk “mendoktrin” warganya, termasuk dalam hal kelestarian lingkungan. Bahkan kearifan lokal pun sangat kaya kaidah. Sayangnya “kurikulum modern” yang dicetuskan pemerintah pusat dan daerah kurang mengakomodir hal ini.
setuju kalo plh itu sendiri sebetulnya tidak butuh kurikulum, kalo aku melihatnya akan lebih dinamis dan hangat jika pe-el-ha itu sebagai wahana berbagi pengetahuan tanpa terikat pada kurikulum yang justeru dengan keberadaannya mengungkung dan mengekang metodologi pembelajaran pl itu sendiri, hehehhee
 Peran orangtua susah juga, krn orang tua gak bisa di-training. Kalo gak salah, di jerman waktu baru mulai pendidikan lingkungan, malah anak2nya yang mendidik orang tua mengenai pemisahan sampah, krn anak2 yang terkena exposure dari kurikulum baru pendidikan lingkungan tsb. Jadi kemungkinan besar tidak bisa mengandalkan orangtuanya, kecuali ada kampanye lingkungan besar2an melalui media, sehingga mengubah mindset masyarakat. Saya rasa penekanannya harus dalam model kurikulumnya, yaitu menekankan kebisaan dan inisiatif siswa itu sendiri. Tugas2 yang diberikan harus membangkitkan kreativitas dan penerapan dalam kehidupan sehari2, bukan sekedar assessment siswa melalui ujian tertulis saja. Juga nilai2 yang harus ditekankan kepada siswa adalah untuk berani berpikir beda, karena siswa harus siap2 dihadapkan dengan situasi sosial yang tidak mendukung dirinya untuk bersikap sesuai teori2 ilmu lingkungan. Coba, di rumah si siswa tsb, siapa yang melakukan pemisahan sampah? Barangkali bapaknya sendiri kalau nyetir mobil buangsampah di jalanan. Bagaimana pendidik bisa berusaha membawa siswa ke dalam pola pikir yang ‘berani beda’ tsb.

Bagaimana kalau kita buat Buku Wiki mengenai rancangan kurikulum pendidikan lingkungan hidup, kalau kita semua skeptis dengan apa yg dilakukan depdiknas? Mari masuk ke http://id.wikibooks.org dan mari mulai membuat Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup.














                                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar