Jumat, 08 November 2013

PERUBAHAN DAN PENGARUH IKLIM GLOBAL TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN

PERUBAHAN DAN PENGARUH IKLIM GLOBAL TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN. Pada dasarnya bumi selalu mengalami perubahan iklim dari waktu ke waktu. Hanya saja di masa lampau perubahan tersebut berlangsung secara alami, sedangkan saat ini perubahan iklim lebih disebapbkan oleh ulah manusia sehingga sifatnya lebih cepat dan drastis.Dewasa ini perubahan iklim telah terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, khususnya NTB. Sebagian kalangan sudah mengerti tentang pemanasan global atau global warming. Pemanasan global adalaP proses perubahan alam atau iklim yang tidak wajar, hal ini di tandai dengan naiknya suhu rata-rata di atmosfer, laut dan bumi. Pemanasan global itu terjadi salah satunya karena diakibatkan oleh efek rumah kaca. Apa itu efek rumah kaca? Efek rumah kaca atau green house effect adalah suatu fenomena dimana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun tidak seluruh gelombang yang dipantulkan itu dilepas¬kan ke angkasa luar. Sebagian gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi (fahriblog). Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga bumi menjadi semakin panas. Efek rumah kaca itu sendiri terjadi karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metan (CH4), dan kloroflourokarbon (CFC) di atmosfir. Kenaikan konsentrasi CO2 disebabkan oleh terjadinya berbagai jenis pembakaran di permukaan bumi seperti pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan-bahan organik lainnya yang melampaui kemampuan permukaan bumi untuk mengabsorpsinya. Bahan-bahan di permukaan bumi yang berperan aktif untuk mengabsorpsi hasil pembakaran tadi adalah tumbuh-tumbuhan, hutan, dan laut. Salah satu alasan mengapa gas-gas tersebut disebut gas rumah kaca adalah karena mekanisme pemanasan ini sama seperti yang terjadi di rumah-rumah kaca yang digunakan untuk perkebunan di negara-negara sub tropika seperti di Eropa dan Amerika Serikat. Biasanya para petani menggunakan rumah kaca di saat musim dingin tiba. Tanaman-tanaman yang ditanam di dalam rumah kaca ini akan tetap hidup dan tidak mati karena membeku oleh pengaruh musim dingin karena kaca akan menghalangi panas matahari yang masuk dan memantulkan kembali keluar. Rumah kaca ini bisa digunakan untuk pembibitan dan berfungsi untuk menghangatkan tanaman yang berada di dalamnya. Rumah kaca ini sendiri sudah ada sejak abad ke-16 di Eropa dan biasa digunakan untuk membudidayakan mawar, lobak, sawi, brokoli, atau tanaman lainnya di musim dingin. Sering terjadi kesalah pahaman di antara kita bahwa efek rumah kaca adalah disebabkan oleh adanya rumah-rumah kaca yang terlalu banyak di perkotaan, tapi lebih dikarenakan oleh emisi karbon yang terlalu banyak di angkasa, sehingga menyulitkan panas memantul kembali ke luar angkasa. Gas-gas seperti uap air, karbon dioksida, dan metana berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca, sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Orang yang pertama kali menyingkap fenomena efek rumah kaca ini adalah Jean-Baptise Joseph Foureurer ahli fisika dan matematika dari Perancis. Penemuan Fourier ini diteruskan oleh seorang fisikawan Swedia yang bernama Svante Arrhenius pada tahun 1896. Efek rumah kaca ini mempunyai manfaat dan sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup yang ada di bumi, karena jika tidak ada efek rumah kaca, bumi kita ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15°C, bumi sebenarnya telah lebih panas 33°C dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18°C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global. Meningkatnya gas rumah kaca tersebut dikontribusi oleh beberapa hal, pertama adalah Energi. Pemanfaatan berbagai macam bahan bakar fosil atau bahan bakar minyak memberi kontribusi besar terhadap naiknya konsentrasi gas rumah kaca, terutama CO2. Kita lihat mayoritas kendaraan bermotor masih menggunakan BBM. Coba bayangkan, dalam sehari, di NTB ini berapa puluh ribu kendaraan yang menyumbangkan emisi karbon dan bahan beracun di atmosfir.Pengemisi terbesar adalah industri dan transportasi, Industri merusak dan mencemari lingkungan tidak hanya terjadi setelah berproduksi (beroperasi), tetapi juga dalam tahap proses pembangunannya. Pada tahap ini, kerusakan dan pencemaran lingkungan dapat terjadi pada kegiatan land clearing, mobilisasi peralatan berat, pengangkutan bahan bangunan, dan kegiatan lainnya. Dalam proses produksinya, semua industri akan menghasilkan produk sampingan yang tidak atau kurang bernilai ekonomis. Produk sampingan ini disebut sebagai limbah, yang terdiri dari limbah padat, cair, dan gas. Limbah ini akan mencemari lingkungan, perairan, tanah, dan udara, yang pada akhirnya akan mengganggu kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Kemudian pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, pertumbuhan penduduk yang pesat, dan peristiwa alam. Kemudian alat transportasi yang memerlukan bahan bakar dan perbengkelan untuk perbaikan transportasi yang rusak. Dampak transportasi udara adalah bising bagi masyarakat sekitar bandar udara, terutama saat pesawat landing dan take off. Transportasi laut banyak mencemari perairan karena limbah padat dan cair biasanya dibuang ke perairan. Pencemaran udara yang di akibatkan transportasi darat, terutama adalah gas CO (karbon monoksida), Pb (plumbum, timah hitam), NOx (nitrogen oksida), SO2 (sulfur dioksida), dan bising. Selain itu, kegiatan perbengkelan yang menunjang operasional alat transportasi juga berpotensi mencemari perairan, air tanah, dan tanah, serta menimbulkan bising. Bahan pencemar bersumber dari oli bekas, bahan pelumas, minyak, dan benda benda bekas perbaikan(rongsokan). Pengendalian pencemaran perbengkelan perlu dilakukan sehingga kegiatannya tidak mencemari lingkungan.Kedua yaitu Hutan. Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi gas rumah kaca. Karena hutan dengan ribuan bahkan jutaan tumbuhan dapat mengubah CO2 menjadi O2. Dengan reaksi sebagai berikut: 6 + 6 O → C6H12O6 + 6O2 Selanjutnya gula diolah menjadi bagian bagian tumbuhan, seperti akar, batang, cabang, daun, dan buah. Tumbuhan juga melakukan pernapasan (respirasi) yang prosesnya merupakan kebalikan dari fotosintesis: C6H12O6 + 6O2 → 6 + 6 O Dengan proses fotosintesis dan respirasi di atas, secara alamiah hutan mencapai keseimbangan yang dinamis. Akan tetapi, jika hutan terbakar atau kayu digunakan sebagai bahan bakar, maka karbon yang terikat atau tersimpan dalam bahan organic (biomassa) akan masuk ke udara dalam bentuk CO2 sehingga kadarnya menjadi naik di udara. Dengan demikian, kerusakan hutan oleh pengurangan luas hutan yang tidak terkendali atau oleh kebakaran akan menyebabkan berkurangnya sumber oksigen dan terjadinya peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir yang dapat menaikkan suhu permukaan bumi. Sehingga perusakan hutan akan memberi kontribusi terhadap naiknya emisi gas rumah kaca. Seperti sistem perladangan berpindah dan perambahan hutan yang dilakukan masyarakat NTB untuk digunakan sebagai lahan usaha tani dan pemukiman juga dapat menyebabkan kerusakan hutan. Karena penduduk yang tinggal di kawasan atau di pinggir hutan membuat lahan pertanian dengan cara menebang pohon dan setelah kering di bakar. Tanah tidak di olah, tetapi langsung di tanami. Tanah ini mereka manfaatkan hanya 3-4 tahun, kemudian di tinggalkan. Selanjutnya, mereka membuka hutan baru, yang caranya sama dengan yang sebelumnya. Demikian seterusnya dan biasanya setelah 12-16 tahun (4 kali berpindah garapan), mereka kembali ke lokasi yang dibuka pertama. Sebetulnya, sistem peladangan berpindah tidak berdampak negatif terhadap lingkungan karena luas yang di buka sempit (2-3 ha) dan tanah tidak di olah secara intensif. Akan tetapi, karena penduduk bertambah terus dan teknologi sudah mulai mereka kenal, maka luas hutan yang di buka makin luas dan waktu tanah tidak di tanami juga makin singkat. Tetapi, pengusaha HPH (Hak Penguasaan Hutan) adalah merupakan penyebab kerusakan hutan terbesar. Karena mereka hanya mengejar keuntungan materi saja. Persyaratan dan ketentuan ketentuan yang mengatur pengusahaan hutan tidak mereka laksanakan sehingga kayu hutan di babat habis. Hal ini dapat terjadi, antara lain disebabkan kurangnya pengawasan, mentalitas dan integritas pengawas yang “bobrok”, pengusaha yang kurang bertanggungjawab, dan tidak peduli lingkungan.Ketiga yaitu Peternakan. Di sektor ini emisi gas rumah kaca dihasilkan dari pemanfaatan pupuk, pembusukan sisa-sisa pertanian dan pembusukan kotoran-kotoran ternak, dan pembakaran sabana. Gas metana juga banyak di hasilkan, karena diperoleh dari keringat dan kotoran binatang ternak, seperti sapi. Gubernur NTB juga mencanangkan program seribu sapi (BSS). yang berdampak pada peningkatan penghasilan gas metana. Di sisi lain, dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan, memenuhi kebutuhan daging nasional, memenuhi permintaan bibit sapi bagi daerah-daerah lain, dan memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam daerah. Keempat yaitu Pertanian. Di sektor ini, gas metan (CH4) juga paling banyak dihasilkan. Dan juga banyak menghasilkan zat berbahaya sisa limbah pertanian, seperti insektisida. Dan penerimaan sinar ultra violet pada tanaman dapat memusnahkan hasil tanaman utama dunia. Hasil kajian menunjukkan hasil tanaman seperti ‘barli’ dan ‘oat’ menunjukkan penurunan karena penerimaan sinar radiasi yang semakin tinggi. Tanaman diperkirakan akan mengalami kelambatan pertumbuhan, bahkan akan cenderung kerdil, sehingga merusak hasil panen dan hutan-hutan yang ada. Radiasi penuh ini juga dapat mematikan anak-anak ikan, kepiting dan udang di lautan, serta mengurangi jumlah plankton yang menjadi salah satu sumber makanan kebanyakan hewan-hewan laut. Kelima yaitu Sampah (refuse). Sampah adalah salah satu kontributor besar bagi terbentuknya gas metan (CH4), karena aktivitas manusia sehari-hari. Sampah berdasarkan zat pembentuknya, dibedakan sebagai sampah organik dan non organik. Jenis sampah juga sering dikelompokkan menjadi: limbah benda padat (waste), limbah cair atau air bekas (sewage), kotoran manusia (human waste). Secara umum, pengelompokan sampah hanya untuk benda benda padat dengan pembagian sebagai berikut: sampah yang mudah membusuk (garbage), misalnya sisa makanan, sampah yang tidak mudah membusuk (rubbish), sampah bangkai binatang (dead animal), sampah berupa abu hasil pembakaran (ashes), sampah padat hasil industry (industrial waste), dan sampah padat yang berserakan di jalan jalan (street sweeping). Akibat pemanasan global, cuaca dan iklim mulai tidak biasa dan tidak teratur, seperti yang pada umumnya musim penghujan berlangsung dari bulan oktober sampai maret. Sedangkan musim kemarau berlangsung pada bulan april sampai September. Tetapi sekarang, pada bulan februari dan maret yang seharusnya musim hujan, kadang mengalami kekeringan dan kemarau. Akibat cuaca yang ekstrim di NTB seperti, petani tembakau mengalami kebangkrutan akibat tembakau yang baru akan di panen mati akibat cuaca yang tidak menentu. Kemudian penanaman padi mulai tidak teratur, biasanya menanam padi dua kali setahun, masa tanam kedua terancam akan gagal panen, karena sumber air berupa mata air sudah mulai berkurang akibat pembabatan hutan dan kerusakan hutan. Tindakan-tindakan sederhana yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi pemanasan global, diantaranya adalah menanggulangi kerusakan hutan. Untuk menanggulangi kerusakan hutan, upaya yang dilakukan tergantung pada penyebabnya. Kerusakan yang disebabkan oleh peladang berpindah diupayakan pemulihannya dengan membina masyarakat peladang berpindah menjadi petani menetap. Kerusakan oleh perambah hutan ditanggulangi dengan transmigrasi, baik secara lokal (translok) maupun transmigrasi umum. Selanjutnya dilakukan pengawasan secara ketat dan menindak perambah menurut ketentuan yang berlaku. Pemerintah juga sudah lama melakukan penanggulangan kerusakan hutan melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi. Penghijauan adalah menanam tanaman terutama pohon pohonan di tanah tanah kritis milik masyarakat, sedangkan reboisasi adalah penanaman kembali kawasan hutan yang telah rusak. Di samping itu, di kawasan hutan produksi juga dikembangkan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun sebagai satuan usaha komersial, yang secara ekonomis dapat mandiri untuk menghasilkan bahan baku industri perkayuan. Misi dan tujuan HTI adalah untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan sehingga dapat menunjang kebutuhan bahan baku industri perkayuan. Mengurangi dan meminimalisir pemakaian Sumber Daya Alam (SDA) dan konsumsi BBM oleh masyarakat. Banyak cara menghemat BBM, beberapa diantaranya adalah : 1. Jangan memanaskan mesin terlalu lama. Hal ini sering terjadi ketika kita bersiap siap untuk pergi, misalnya berangkat kerja atau ke sekolah. Sambil memanaskan mobil/motor, terkadang kita juga menyempatkan diri untuk melakukan aktifitas lain. Secara tidak sadar, kita sudah memanaskan mesin cukup lama dan mengakibatkan pemborosan BBM. Memanaskan mesin mobil/motor, sebenarnya hanya membutuhkan waktu 3 menit saja. 2. Jika ingin melajukan mobil lebih cepat, setelah pedal gas ditekan sedikit, langsung saja pindahkan gigi ke posisi yang lebih tinggi. Jangan tunggu sampai putaran mesin naik. Dengan melakukan hal ini saja, sudah bisa menghemat konsumsi bahan bakar sebanyak 5-10%. 3. Jika terpaksa menekan pedal gas cukup dalam, usahakan tidak lebih dari 80%. Manfaatkan gaya dorong mobil untuk melakukan percepatan saat ingin melajukan mobil lebih cepat. 4. Gunakan gigi yang paling tinggi ketika sedang melaju cepat di jalan tol. Dengan begitu, putaran mesin pun akan tetap rendah, dan pemakaian bahan bakar pun lebih di hemat. 5. Jika sedang melaju di jalur yang cukup lowong, misalnya di jalan tol, usahakan kecepatan mobil berada di sekitar 70 km/jam. Ini adalah kecepatan yang paling pas dan terhitung ekonomis. Jika melebihi kecepatan tersebut, putaran mesin akan meninggi, dan konsumsi bahan bakar akan semakin boros. 6. Sebisa mungkin, lajukanlah mobil dengan kecepatan konstan. Jangan terlalu sering menekan pedal gas dan melakukan pengereman secara tiba-tiba. 7. Saat memperlambat atau menghentikan laju kendaraan, manfaatkanlah pengurangan kecepatan dengan mesin (engine brake). Angkat pedal perlahan, dan putaran mesin pun akan ikut berkurang. Gunakan produk yang ramah lingkungan, kurangi penggunaan/pembelian barang-barang yang terbuat dari plastik karena hampir semua sampah plastik akan menghasilkan gas yang berbahaya ketika dibakar/pembakaran tidak sempurna dan dapat mencemarkan lingkungan. Hemat dalam pemakaian air dan pemakaian energi listrik.Mengurangi penggunaan bahan-bahan yang mengandung aerosol, sebagai tambahan, Kampanye-kan program gerakan stop global warming! Biar semua orang lebih peduli dengan Bumi kita. Jangan biarkan Bumi kita hancur oleh karena tangan kita sendiri. Karena kalau bukan kita yang melindungi dan melestarikannya, siapa lagi?? BENCANA EKOLOGIS SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN UPAYA PEREDAMAN RISIKO BENCANA Oleh Petrasa Wacana Abstrak Pemanasan global menjadi isu utama di dunia, merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh di dunia di abad 21, hal ini berdampak pada terjadinya kenaikan suhu di bumi, yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan dalam siklus bumi, kenaikan suhu permukaan dan perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Perubahan iklim berdampak pada terjadinya bencana alam dimana-mana mulai dari badai topan, badai siklon tropis, banjir, endemic, kekeringan, El Nino, kelaparan, tsunami dan berbagai bencana lainnya yang mengakibatkan hilangnya fungsi ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Bencana terjadi akibat adanya faktor-faktor ancaman (hazard) berupa fenomena alam akibat pemanasan global dan adanya kerentanan (vulnerability) di dalam suatu masyarakat dalam menerima risiko bencana, untuk itulah perlu dilakukan upaya-upaya peredaman risiko bencana (disaster risk reduction) yang merupakan suatu kegiatan manajemen bencana untuk mengurangi risiko bencana dari dampak perubahan iklim global mulai dari sebelum bencana terjadi (mitigasi dan kesiaapsiagaan), saat terjadi bencana (emergency response) dan setelah terjadi bencana (recovery and rencana strategis). Kata kunci : Pemanasan global, perubahan iklim, risiko bencana, ancaman, kerentanan, disaster management. BAB I PENDAHULUAN Pemanasan global telah terjadi semenjak abad 20, mulai dari awal revolosi industri di negara-negara eropa, pemanasan global memberikan dampak terhadap perubahan iklim global sebagai akibat dari efek rumah kaca dan pemenuhan emisi gas CO2 di udara yang dapat mengakibatkan perubahan kondisi suhu golobal dan mempengaruhi kondisi siklus metereologi dan geologi, yang mengakibatakan bencana alam dimana kondisi terjadinya bencana memiliki hubungan dengan pemanasan global dan kenaikan muka air laut oleh karena adanya penambahan masa air laut akibat pencairan es di kutub yang ditimbulkan setiap tahunnya, terjadinya El Nino, banjir akibat faktor cuaca yang tidak menentu dan sering juga berbarengan dengan bencana longsor, badai tropis, dan badai siklon. Risiko bencana yang dapat ditimbulkan berupa hilangnya keberfungsiaan masyarakat, korban, kerugian material, kerusakan fisik dan kerusakan lingkungan. Dalam dua dekade ini telah terjadi pertumbuhan penduduk di dunia yang sangat pesat, kebutuhan akan pemenuhan hidupnya mengakibatkan bertambahnya pasokan emisi gas dan efek rumah kaca di bumi yang tidak seimbang dengan daya tampung wilayahnya, kondisi ini akan terjadi dari tahun ke tahun yang menjadi permasalahan serius bagi dunia sebagai dampak perubahan iklim. Bencana ekologis akan terjadi apabila keseimbangan antara makluk hidup dan tempat tinggalnya tidak terpenuhi, sehingga menjadi suatu ancaman (hazard) yang dapat mengakibatkan risiko bencana apabila ada kerentanan (vulnerability) di dalam suatu lingkungan masyarakat dalam menerima ancaman. Selain itu juga pemanasan global terjadi akibat dari kegiatan ekploitasi secara besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang menjadi bagian dari siklus keseimbangan alam. Dalam konferensi internasional tentang pemanasan global di Jepang tahun2005 telah menghasilkan Kyoto Protokol yang menjadi landasan dan kerangka kerja bagi seluruh negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim. Akhir-akhir ini bencana sering terjadi dimana-mana mulai dari tsunami, gempa, badai, banjir, longsor, erupsi gunungapi, kekeringan dan lainnya, hal ini harus menjadi suatu pemikiran bersama dalam mengatasinya dan menyelesaikan permasalahan ini. Bencana yang selalu terjadi silih berganti tanpa mengenal waktu dan wilayah, kondisi alam yang tidak seimbang dan perubahan siklus iklim yang tedak sesuai mengakibatkan bencana tidak dapat diprediksi secara pasti, hilangnya keseimbangan lingkungan akibat kerusakan alam yang tidak stabil menjadi sesuatu yang harus diatasi oleh semua pihak yang ada. Bencana menjadi semakin meluas di mana-mana sehingga pentingnya tindakan yang dilakukan secara konprehensif untuk mengurangi risiko bencana dan risiko perubahan iklim dengan melaksanakan manajemen bencana dan rencana aksi pengurangan risiko bencana antara lain; (1) mitigasi; (2) manajemen kesiapsiagaan dan manajemen krisis; (3) kedaruratan (emergency response); dan (4) pemulihan dan rencana aksi. BAB II PEMBAHASAN 1. Perubahan Iklim dan Bencana Ekologis Perubahan iklim global diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer bumi sebagai efek rumah kaca (greenhouse), kegiatan industri, pemanfaatan sumberdaya minyak bumi dan batubara, serta kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi gas CO2 terbesar di dunia yang mengakibatkan perubahan pada lingkungan dan tataguna lahan (landuse), karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang diterima dengan energi yang dilepaskan ke udara dan terjadi perubahan tatanan pada atmosfir sehingga dapat mempengaruhi siklus menjadi tidak seimbang di alam, akibatnya terjadi perubahan temperature yang sangat signifikan di atmosfer. Pemanasan global berdampak pada perubahan iklim di dunia menjadi tidak stabil, apabila pemananasan global terus bertambah setiap tahunnya dapat menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap percepatan ancaman yang seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, tsunami, kekeringan dan El Nino yang dapat menimbulkan risiko bencana pada sistem ekologis. Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami ganguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makluk hidup dan kondisi alam. Alam sebagai tempat tinggal dan segala sesuatu yang memberikan keseimbangan lingkungan, bencana ekologi sering terjadi akibat akumulasi krisis ekologi yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya pengurusan alam yang mengakibatkan kolapsnya tata kehidupan manusia, kondisi ini juga dipercepat dengan dampak yang dilakukan oleh kegiatan manusia dalam mengelola lingkungan sehingga mempengaruhi pemanasan global di bumi yang berujung pada terjadinya bencana-bencana dimana-mana, pengaruhuh utama dari pemanasan global terhadap terjadinya bencana adalah perubahan suhu udara yang semakin meningkat sehingga mengakibatkan perubahan musim yang tidak seimbang dan memicu percepatan siklus geologi dan metereologi. Meningkatnya suhu udara dari waktu ke waktu rata-rata pertahun mencapai 1,4 – 5,8 derajat celcius hingga tahun 2100 yang dapat mempengaruhi kenaikan muka air laut mencapai 88 meter, pemanasan suhu global di udara memberi dampak terhadap keseimbangan energi dalam suatu wilayah hingga mengaklibatkan kekeringan berkapanjangan, menurunnya produktifitas pertanian, rusaknya suatu ekosistem dan tatanan kehidupan manusia dalam jangka panjang. Badai siklon tropis merupakan fenomena badai yang terjadi akibat system tekanan udara rendah pada daerah tropis yang menjadi sebuah ancaman (hazard) yang dapat menimbulkan bencana, badai siklon tropis dapat menghancurkan wilayah yang dilewatinya memiliki diameter antara 20 – 150 kilometer, dan dapat mengakibatkan banjir akibat naiknya masa air dilaut dan di daratan yang terbawa oleh angin dengan kekuatan yang tinggi. Beberapa tahun terakhir banjir merupakan fenomena yang biasa terjadi di berbagai negara ada yang diakibatkan oleh rusaknya fungsi hutan sebagai pengatur siklus air, tata kelola lahan yang tidak baik, kondisi morfologi dan adanya air pasang laut, yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu, hal ini dipengaruhi juga dengan kondisi cuaca yang tidak menentu dimana musim hujan tidak lagi pada siklusnya, siklus hidrologi menjadi tidak seimbang antara evaporasi, prefipitasi, infiltrasi dan daya dukung lahan terhadap air permukaan, kondisi musim yang tidak stabil diakibatkan oleh adanya perubahan iklim global di bumi sehingga sulit untuk di prediksi secara pasti. Jumlah populasi yang sangat tinggi menjadi faktor-faktor penentu terjadinya bencana, perlu di ingat bahwa sustu ancaman (hazard) akan menjadi bencana apabila menimbulkan dampak yang sangat besar dan luas, yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan masyarakat serta aset-aset kehidupan yang ada meliputi manusia, fisik (infrastruktur), ekonomi, sosial budaya dan sumberdaya alam. Dampak yang terbesar akibat dari perubahan iklim di dunia adanya bencana El Nino, merupakan bencana kekeringan yang terjadi yang terjadi akibat meningkatnya suhu dari rata-rata suhu normalnya sehingga terjadi perubahan musim yang sangat signifikan, hal ini berdampak pada kondisi lahan dan mempengaruhi produktifitas pertanian untuk menghasilkan dapat berdampak pada rusaknya satu ekosistem, tatanank kehidupan manusia, dan kerusakan ekologi. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air baik yang ada di permukaan maupun yang ada di bawah permukaan, menjadi fenomena sosial ketika banyak terjadi kekeringan, berkurangnya daya tahan pangan dan hilangnya keberfungsiaan lahan. Bencana ekologi terjadi akibat adanya akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh pemanasan global di dunia. 2. Upaya Peredaman Risiko Bencana Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi akibat kolektifitas atas komponen ancaman (hazard) yaitu berbagai isu-isu pemanasan global yang mempengaruhi kondisi alam dan lingkungan, serta bagaimana tingkat kerentanan (vulnerability) suatu komunitas memiliki nilai yang sangat tinggi sehingga ada hubungan antara tiga faktor diatas untuk menjadi suatu bencana (Paripurno, 2000). Dalam konfrensi dunia tentang pengurangan risiko bencana di jepang (World Confrence on Disaster Reduction, Kobe, Japan 2005), dengan mengacu pada United Framework Convention on Climate Changes (UNFCCC) bencana dan perubahan iklim menjadi isu utama karena memliki hubungan atas terjadinya berbagai bencana di dunia dan menghasilkan rencana aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action 2005 - 20015), dari hasil konfrensi ini, pengurangan risiko bencana diimplementasikan sampai ke tingkat komunitas dimana setiap negara didorong untuk memiliki rencana aksi sebagai upaya peredaman risiko bencana. Selain itu upaya-upaya peredaman risiko bencana telah dilakukan dengan adanya Kyoto Protokol tahun 2005, sebagai kerangka kerja untuk setiap Negara-negara di dunian melakukan rencana aksi pengurangan perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dunia dari pemanasan global yang dapat mengakibatkan bencana ekologis. Bencana ekologis menjadi ancaman bagi setiap negara sehingga perlu adanya tindakan preventif dalam mereduksi risiko bencana yang akan ditimbulkan, perubahan iklim dalam waktu yang sangat lama tidak terbatas pada aspek-aspek iklim dan lingkungan, pengurangan emisi gas CO2 di udara menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan pengurangan dampak pemanasan global di dunia. Pencegahan dan pengelolaan lingkungan harus dimulai secara dini untuk menilai risiko dan kondisi alam yang tidak stabil terhadap ancaman bencana ekologis. Pengurangan risiko bencana meliputi tahapan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana, pada tahapan sebelum bencana manajemen risiko dapat dilakukan dengan melakukan upaya-upaya pencegahan atau mitigasi, merupakan upaya terpadu yang dilakukan untuk meminimalkan risiko bencana, mitigasi dapat dilakukan denganpenilaian risiko bencana berdasarkan atas analisa ancaman (hazard) yang diakibatkan perubahan iklim global, mengenal ancaman untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana, khususnya bencana ekologis, dari faktor-faktor di atas kemudian dilakukan penilaian terhadap kerentanan (vulnerability) dalam suatu komunitas untuk menerima dampak ancaman sehingga dapat mengetahui tingkat risiko bencana. Mitigasi dapat dilakukan dengan melakukan du pendekatan antara lain pendekatan structural yang mengacu pada infrastruktur yang mendukung pengurangan pengaruh pemanasan global dan risiko bencana, serta pendekatan non structural dengan pendekatan masyarakat sebagai perancang dan perencana suatu tindakan mitigasi bencana. Ancaman adalahsesuatu yang dapat mengkibatkan terjadinya bencana baik secara alamiah (natural disaster) maupun akibat ulah manusia itu sendiri (man-made disaster). Atas penilaian risiko bencana dapat dijadikan tolak ukur suatu rencana strategis dalam membangun suatu kesiapsiagaan dalam satu komunitas untuk menghadapi risiko bencana, sistem peringatan dini harus dimiliki sebagai tanda yang dapat memberikan informasi adanya ancaman risiko bencana. Risiko bencana merupakan hubungan antara komponen-komponen ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan (capacity) dalam mengelola ancaman. Jika dilihat hubungannya risiko bencana dapat dirumuskan RI = Hazard x Vulnerability/Capacity Dimana : RI = Risiko Bencana H = Hazard V = Vulnerability C = Capacity Semakin tinggi nilai ancaman dan nilai kerentanan maka risiko bencana semakin tinggi, untuk mengurangi risiko bencana perlu melakukan peningkatan nilai kerentanan (vulnerability) menjadi kapasitas (capacity) dengan melakukan penguatan kapasitas di dalam masyarakat dalam mengelola lingkungan, mengenal ancaman, mengetahui dampak yang dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana dalam lingkungan (disaster ecology). Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana. Rencana aksi harus meliputi upaya-upaya yang dilakukan untuk pengurangan laju perubahan iklim di setiap negara, meliputi 3 isu yang harus di perhatikan : (1) pengurangan risiko bencana; (2) perubahan iklim global dan (3) pembangunan berkelanjutan, yang menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan dalam mengelola ancaman bencana alam (natural disaster). Saat terjadinya bencana di suatu wilayah perlu dilakukan penanganan cepat (emergency response) untuk memberi jaminan keselamatan, kesehatan dan hak-hak dasar kepada seluruh komponen yang terlanda tanpa terkecuali, dalam masa krisis pemulihan cepat terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat harus dilakukan secara terencana dan terpadu sehingga dapat ditangani dengan cepat. Proses pemulihan (recovery) menjadi bagian dari upaya peredaman risiko bencana dimana dalam perencanaan suatu program pemulihan harus memiliki unsur-unsur terhadap pengurangan risiko bencana, berguna bagi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan aman dari risiko bencana. BAB III PENUTUP a.Kesimpulan Perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global di dunia memberikan dampak terhadap terjadinya bencana-bencana alam yang merupakan bencana ekologis, dimana terjadi hilangnya keseimbangan ekologi seperti badai siklon tropis, air pasang dan banjir, kenaikan temperature ekstrim, endemic, tsunami, kekeringan dan El Nino. Hal ini berdampak pada kondisi lingkungan disekitarnya. Bencana merupakan akumulasi dari faktor-faktor alam yang telah mengalami ganguan keseimbangan dimana ada suatu kerentanan (vulnerability) pada suatu wilayah yang terkena dampak sehingga menurunnya daya tangkal masyarakat dalam menerima risiko bencana, seringkali bencana yang terjadi silih berganti dalam satu waktu yang sama (bencana kembar). Upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan melakukan tahapan manajemen bencana yang meliputi pencegahan dan mitigasi; kesiapsiagaan; manajemen emergensi, pemulihan dan rencana aksi yang dapat berimplikasi terhadap pengurangan risiko bencana. Upaya peredaman risiko bencana merupakan upaya terpadu dan terencana yang dilakukan dalam manajemen bencana sehingga dapat diimplementasikan ke dalam pengeloalaan lingkungan yang berbasis pengurangan risiko bencana, dengan mengurangi efek pemanasan global yang saling berhubungan antara pengurangan risiko bencana, pengurangan global warming dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). IV. DAFTAR PUSTAKA Schipper, L and Pelling, M, 2006. Disaster Risk, Climate Change and International Development: Scope for, and Challenges to, Integration. Journal of Disasters, Volume 30, Number 1, Maret 2006, pp 19-38. Helmer, M and Hilhorst,D, 2006. Natural Disasters and Climate Change. Journal of Disasters, Volume 30, Number 1, Mar 2006, pp 1-4. Freites, C, 2005. Perceived Changein Risk of Natural Disasters caused by Global Warming. International Science Journal Climate Reserch, Volume 1, 2005, pp 34-38. Van Aalst and Marteen, K, 2006. The Impacts of Climate Changes on The Risk Natural Disaster. Journal of Disaster, Volume 30, Number 1, Maret 2006, pp 5-18 (14). Jonatan, A, 2001.Public Healt Risk Assesment Linked to Climaic and Ecologycal Change. Journal Human and Ecological Risk Assesment, Volume 7, Number 5, September – Oktober 2001, pp 373-385 (13) Thomas Mitchell, 2007. An Operational Framework for Mainstreaming Disaster Risk. The ISME Journal, Volume 1, September 2007, pp 567-584.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar