yopie saiba
Pendidikan Lingkungan Hidup
Manusia
terdiri atas pikiran dan rasa dimana keduanya harus digunakan. Rasa menjadi
penting digerakkan terlebih dahulu, karena seringkali dilupakan. Bagaimana
memulai pendidikan lingkungan hidup? Pendidikan Lingkungan Hidup harus dimulai
dari HATI. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan
yang diberikan hanya akan menjadi sampah semata.
Untuk
membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses
yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika
proses penyadaran telah terjadi dan perubahan sikap dan pola pikir terhadap
lingkungan telah terjadi, maka dapat dilakukan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman mengenai lingkungan hidup, serta peningkatan keterampilan dalam
mengelola lingkungan hidup
Pendidikan Lingkungan Hidup: dalam buku catatan
Pada
tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam
pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran ?Pendidikan kependudukan
dan lingkungan hidup (PKLH)?. Depdikbud merasa perlu untuk mulai
mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran
Pada
jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian
mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif
dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah
kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak
tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup
telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP
dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan.
Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.
Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan.
Selain
itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep:
89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup,
tanggal 21 Mei 1996. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan
pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara
lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan
Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH)
untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain.
Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi dalam mengembangkan pendidikan
lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran
guru, pengembangan sarana pendidikan seperti penyusunan modul-modul integrasi,
buku-buku bacaan dan lain-lain.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.
Pada tanggal 5 Juli 2005, Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan SK bersama nomor: Kep No 07/MenLH/06/2005 No 05/VI/KB/2005 untuk pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup. Di dalam keputusan bersama ini, sangat ditekankan bahwa pendidikan lingkungan hidup dilakukan secara integrasi dengan mata ajaran yang telah ada.
Pendidikan Lingkungan Hidup: bahan dasar yang dilupakan
Salah
satu puncak perkembangan pendidikan lingkungan adalah dirumuskannya tujuan
pendidikan lingkungan hidup menurut UNCED adalah sebagai berikut:
Pendidikan
lingkungan Hidup (environmental education – EE) adalah suatu proses untuk
membangun populasi manusia di dunia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan
total (keseluruhan) dan segala masalah yang berkaitan dengannya, dan masyarakat
yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tingkah laku, motivasi serta
komitmen untuk bekerja sama , baik secara individu maupun secara kolektif ,
untuk dapat memecahkan berbagai masalah lingkungan saat ini, dan mencegah
timbulnya masalah baru [UN - Tbilisi, Georgia - USSR (1977) dalam Unesco,
(1978)]
PLH
memasukkan aspek afektif yaitu tingkah laku, nilai dan komitmen yang diperlukan
untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan (sustainable). Pencapaian tujuan
afektif ini biasanya sukar dilakukan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru
perlu memasukkan metode-metode yang memungkinkan berlangsungnya klarifikasi dan
internalisasi nilai-nilai. Dalam PLH perlu dimunculkan atau dijelaskan bahwa
dalam kehidupan nyata memang selalu terdapat perbedaan nilai-nilai yang dianut
oleh individu. Perbedaan nilai tersebut dapat mempersulit untuk derive the
fact, serta dapat menimbulkan kontroversi/pertentangan pendapat. Oleh karena
itu, PLH perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ketrampilan
yang dapat meningkatkan ?kemampuan memecahkan masalah?.
Beberapa
ketrampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut
ini.
·
Berkomunikasi: mendengarkan,
berbicara di depan umum, menulis secara persuasive, desain grafis;
·
Investigasi (investigation):
merancang survey, studi pustaka, melakukan wawancara, menganalisa data;
·
Ketrampilan bekerja dalam kelompok
(group process): kepemimpinan, pengambilan keputusan dan kerjasama.
Pendidikan
lingkungan hidup haruslah:
1.
Mempertimbangkan lingkungan
sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial
(ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
2.
Merupakan suatu proses yang
berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra
sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
3.
Mempunyai pendekatan yang sifatnya
interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari
masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang
holistik dan perspektif yang seimbang.
4.
Meneliti (examine) issue
lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan
internasional, sehingga siswa dapat menerima insight mengenai kondisi lingkungan
di wilayah geografis yang lain;
5.
Memberi tekanan pada situasi
lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan
pertimbangan perspektif historisnya;
6.
Mempromosikan nilai dan pentingnya
kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan
masalah-masalah lingkungan;
7.
Secara eksplisit
mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan
pertumbuhan;
8.
Memampukan peserta didik untuk
mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi
kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari
keputusan tersebut;
9.
Menghubungkan (relate) kepekaan
kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan
klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun
pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap
lingkungan tempat mereka hidup;
10.
Membantu peserta didik untuk
menemukan (discover), gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
11.
Memberi tekanan mengenai
kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir
secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
12.
Memanfaatkan beraneka ragam
situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam
pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada
kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara
langsung (first – hand experience).
Karena
langsung mengkaji masalah yang nyata, PLH dapat mempermudah pencapaian
ketrampilan tingkat tinggi (higher order skill) seperti :
1. berfikir kritis
2. berfikir kreatif
3. berfikir secara integratif
4. memecahkan masalah.
1. berfikir kritis
2. berfikir kreatif
3. berfikir secara integratif
4. memecahkan masalah.
Persoalan
lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta
memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam
penyelenggaraan kegiatan pendidikan lingkungan hidup juga sangat beragam.
Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang
ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di
Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar
pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga
pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan
saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah :
1.
Pilar Ekonomi: menekankan pada
perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang
berkaitan adalah: Pola konsumsi dan produksi, Teknologi bersih,
Pendanaan/pembiayaan, Kemitraan usaha, Pertanian, Kehutanan, Perikanan,
Pertambangan, Industri, dan Perdagangan
2.
Pilar Sosial: menekankan pada
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.
Isu atau materi yang berkaitan adalah: Kemiskinan, Kesehatan, Pendidikan,
Kearifan/budaya lokal, Masyarakat pedesaan, Masyarakat perkotaan, Masyarakat
terasing/terpencil, Kepemerintahan/kelembagaan yang baik, dan Hukum dan pengawasan
3.
Pilar Lingkungan: menekankan pada
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi
yang berkaitan adalah: Pengelolaan sumberdaya air, Pengelolaan sumberdaya
lahan, Pengelolaan sumberdaya udara, Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir,
Energi dan sumberdaya mineral, Konservasi satwa/tumbuhan langka, Keanekaragaman
hayati, dan Penataan ruang
Kesadaran
subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg
(constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling
bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa
dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir.
Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada
pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialek tersebut tidak
berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu,
pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya
yang ajeg, yakni: Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang
pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga
adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis
semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Dengan
kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan
pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu
?commencement?, yang selalu ?mulai dan mulai lagi?, maka proses penyadaran akan
selalu ada dan merupakan proses yang sebati (in erent) dalam keseluruhan proses
pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau
hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang
tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang
dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat ?kesadaran naif?
sampai ke tingkat ?kesadaran kritis?, sampai akhirnya mencapai tingkat
kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ?kesadarannya kesadaran? (the consice
of the consciousness).
Joseph
Cornell, seorang pendidik alam (nature educator) yang terkenal dengan permainan
di alam yang dikembangkannya sangat memahami psikologi ini. Sekitar tahun 1979
ia mengembangkan konsep belajar beralur (flow learning).
Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.
Berbagai kegiatan atau permainan disusun sedemikian rupa untuk menyingkronkan proses belajar di dalam pikiran, rasa, dan gerak. Ia merancang sedemikian rupa agar kondisi emosi anak dalam keadaan sebaik-baiknya pada saat menerima hal-hal yang penting dalam belajar.
Aspek-aspek
yang perlu diperhatikan adalah:
·
Aspek afektif: perasaan nyaman,
senang, bersemangat, kagum, puas, dan bangga
·
Aspek kognitif: proses pemahanan,
dan menjaga keseimbangan aspek-aspek yang lain
·
Aspek sosial: perasaan diterima
dalam kelompok
·
Aspek sensorik dan monotorik:
bergerak dan merasakan melalui indera, melibatkan peserta sebanyak mungkin
·
Aspek lingkungan: suasanan ruang
atau lingkungan
Pendidikan Lingkungan Hidup: terjerumus di jurang pembebanan baru
Pendidikan
saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya
pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek
jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi
diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar,
telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin
membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi
mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan
hanyalah sebuah mimpi.
Dunia
pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah
dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk
mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas
yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah
akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang
hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa
asing.
Pada
dua tahun terakhir, PLH di Kalimantan Timur sangatlah berjalan perlahan
ditengah hiruk pikuk penghabisan kekayaan alam Kaltim. Inisiatif-inisiatif baru
bermunculan. Kota Balikpapan memulai, dengan dibantu oleh Program Kerjasama
Internasional, lahirlah kurikulum pendidikan kebersihan dan lingkungan yang
menjadi salah satu muatan lokal. Diikuti kemudian oleh Kabupaten Nunukan.
Sementara saat ini sedang dalam proses adalah Kota Samarinda, Kabupaten Malinau
dan Kota Tarakan. Kesemua wilayah ini terdorong ke arah ?jurang? hadirnya
muatan lokal beraroma pendidikan lingkungan hidup.
Tak
ada yang salah dengan muatan lokal. Namun sangat disayangkan dalam
proses-proses yang dilakukan sangat meninggalkan prinsip-prinsip dari
Pendidikan Lingkungan Hidup itu sendiri. Nuansa hasil yang berwujud (buku,
modul, kurikulum), sangat terasa dalam setiap aktivitas pembuatannya.
Perangkat-perangkat pendukung masih sangat jauh mengikutinya.
Pendidikan
Lingkungan Hidup hari ini, bisa jadi mengulang pada kejadian beberapa tahun yang
lalu, ketika PKLH mulai diluncurkan. Statis, monolitik, membunuh kreatifitas.
Prasyarat yang belum mencukupi yang kemudian dipaksakan, berakhir pada frustasi
berkelanjutan.
Sangat
penting dipahami, bahwa pola Cara Belajar Siswa Aktif, Kurikulum Berbasis
Kompetensi, dan berbagai teknologi pendidikan lainnya yang dikembangkan,
kesemuanya bermuara pada kapasitas seorang guru. Kemampuan berekspresi dan
berkreasi sangat dibutuhkan dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa. Bila tidak, lupakanlah.
Demikian
pula dengan PLH, sangat dibutuhkan kapasitas guru yang mampu membangitkan
kesadaran kritis. Bukan sekedar untuk memicu kreatifitas siswa. Kesadaran
kritis inilah yang akhirnya akan tereliminasi disaat PLH diperangkap dalam
kurikulum muatan lokal. Siswa akan kembali berada dalam ruang statis, mengejar
nilai semu, dan memperoleh pembebanan baru.
Pendidikan Lingkungan Hidup: duduk, diam, dan bercerminlah
Sejak
2001, disaat pertama kali kawan-kawan pegiat PLH di Kaltim berkumpul, telah
lahir berbagai gagasan dan agenda yang harus diselesaikan. Namun karena bukan
menjadi PRIORITAS, maka hal ini menjadi bagian yang dilupakan.
Di
tahun 2005 ini, geliat PLH masih bergerak-gerak ditempat. Bagi yang memiliki
dana, muatan lokal menjadi sebuah pilihan, karena akan lebih mudah mengukur
indikator keberhasilannya. Bagi yang tidak memiliki dana, mencoba
tertatih-tatih di ruang sempit untuk tetap berjalan sesuai dengan cita-cita
sebenarnya dari PLH, yaitu membangun generasi yang memiliki KESADARAN KRITIS
sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni
?KESADARANNYA KESADARAN?.
Kepentingan
untuk PERCEPATAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP, haruslah dimaknai bukan untuk
mengELIMINASI pondasi dasar PLH. Tidak kokohnya pondasi akan mengakibatkan kehancuran
sebuah bangunan, semewah apapun ia. Kehausan akan target proyek, capaian
indikator, pekerjaan, hanya akan menjadikan PLH sebagai sebuah obyek mainan
baru, bukan lagi sebagai sebuah nilai yang sedang dibangun bagi generasi
kemudian negeri ini.
BERCERMINLAH
untuk sekedar meREFLEKSIkan diri. Ini yang penting dilakukan oleh pegiat PLH.
Bukan untuk berlari mengejar ketertinggalan. Tidak harus cepat mencapai garis
akhir. Berjalan perlahan dengan semangat kebersamaan akan lebih menghasilkan
nilai yang tertancap pada ruang yang terdalam di diri.
APAKAH
YANG SEDANG KITA LAKUKAN HANYA AKAN MENJADI PEMBEBANAN BARU BAGI GENERASI KEMUD
dalam memandang
persoalan, kita bisa melihatnya dengan benci, apatis, atau dengan kasih. Hemat
saya, saat ini PLH dipandang dengan apatis. Saya lebih suka jika saat ini ada
momen yang membuat opini kasih atau malah benci dengan PLH. Karena dari benci
bisa dilentingkan menjadi kasih akan alam.. lain halnya jika apatis alias “so
what (gitu lo)”
ambillah contoh rinso.. yang saat ini berkampanye “berani
kotor” di teve. Dulu, kotor dan bersih hanya urusan yang mencuci baju. Saat
ini, kebencian akan cucian kotor (oleh pencuci) dilentingkan menjadi “berani
kotor”.. jadi urusan semua orang..
intinya.. perlu ada sesuatu yang mengkaitkan PLH dengan
kehidupan sehari-hari secara “emosional” (sebal berkotor-kotor dengan tanah,
senang bermain air di sungai, –> makanan asalnya dari tanah, minum dari
sungai)
harapan
saya ga muluk-muluk… jika anak didik saya mau membuang sampah pada tempatnya,
syukur alhamdulillah
syukur alhamdulillah
bang, saya bikin tanggapan, tapi panjang. jadi saya tulis
di blog saya, yang juga diupload di biophilia.
Pendidikan lingkungan sangat penting bagi
usia dini dikarenakan pendidikan tersebut berguna dalam menjaga kelestarian
lingkungan dan memanfaatkan lingkungan untuk kehidupan.
Kalau dilihat dari kejadian sekarang ini yang disebabkan oleh lingkungan seperti, banjir, longsor dll itu diakibatkan dari ulah manusia yang kurang mengendalikan keinginan dalam memanfaatkan lingkungan menyebabkan kerusakan-kerusakan.
pendidikan Generasi muda/siswa harus dilakukan tetapi bukan menjadi beban mereka karena kerusakan terjadi akibat ulah bersama, dan siswa yang diberi pendidikan lingkungan harus bis mensosalisasikan kepada teman-temannya dalam menjaga lingkungan.
Kalau dilihat dari kejadian sekarang ini yang disebabkan oleh lingkungan seperti, banjir, longsor dll itu diakibatkan dari ulah manusia yang kurang mengendalikan keinginan dalam memanfaatkan lingkungan menyebabkan kerusakan-kerusakan.
pendidikan Generasi muda/siswa harus dilakukan tetapi bukan menjadi beban mereka karena kerusakan terjadi akibat ulah bersama, dan siswa yang diberi pendidikan lingkungan harus bis mensosalisasikan kepada teman-temannya dalam menjaga lingkungan.
sori, kalau baru baca. Menurut aku pribadi, pendidikan PLH
dapat dimulai dari hal-hal sederhana ysng berupa kerja nyata. Misalnya, tiap
sekolah buatlah proyek kerja nyata. Mulailah dengan menanam satu bibit di
tanah. Ajaklah anak2 untuk memelihara pohon dengan ikut serta menyirami dan
merawatnya. Tunjukkan betapa lamanya sebuah pohon tumbuh.Hubungkan dengan
teori2 tentang akibat2 yang terjadi bila sebuah pohon ditebang sembarangan.
Dengan demikian, mereka belajar menyadari pentingnya peran pohon dalam
kehidupan ini. Dengan kesadaran lewat praktik nyata ini diharapkan mereka akan
lebih peduli pada lingkungannya. Bila di sekitar sekolah itu ada lahan gundul
akibat peembabatan hutan, mengapa siswa tidak di ajak berperan serta untuk
menghijaukannya kembali? Ajaklah mereka mengumpulkan bibit dari sekitar rumah
mereka dan membawanya ke hutan (untuk karya wisata, misalnya) tempat mereka
bisa menanamnya.
Bayangkan. Bila satu kelas dalam satu sekolah melakukan ini setidaknya sekali dalam setahun, berapa banyak lahan gundul yang dapat diselamatkan!
jadi, lebih baik kita langsung bergerak, tak perlu menunggu keputusan rapat bersama. Mulailah dari hal-hal sederhana tapi nyata.
Bayangkan. Bila satu kelas dalam satu sekolah melakukan ini setidaknya sekali dalam setahun, berapa banyak lahan gundul yang dapat diselamatkan!
jadi, lebih baik kita langsung bergerak, tak perlu menunggu keputusan rapat bersama. Mulailah dari hal-hal sederhana tapi nyata.
aku sepakat dengan pendidikan lingkungan diterapkandalam
kurikulum sekolah, dan aku rasa semua orang sudah menyadari akan pentingnya
pendidikan lingkungan tersebut.
dan para pemerhati lingkungan sudah tahu tentang teori mengenai pendidikan yang integral-holistik. yang jadi permasalahan adalah belum adanya suatu kurukulum mengenai pendidikan lingkungan yang disosialisasikan pada khalayak umum. yang ada hanyalah penguasaan kurikulum pada instansi atau lsm. jika mereka LSM atau instansi benar2 komitmen pada lingkungan hidup seharusnya mereka bisa membagi “pengetahuan” yg lebih tersebut kepada masyarakat. sehingga kurikulum lingkungan hidup bisa diterapkan dimana saja dan kapan saja dan oleh siapa saja!
dan para pemerhati lingkungan sudah tahu tentang teori mengenai pendidikan yang integral-holistik. yang jadi permasalahan adalah belum adanya suatu kurukulum mengenai pendidikan lingkungan yang disosialisasikan pada khalayak umum. yang ada hanyalah penguasaan kurikulum pada instansi atau lsm. jika mereka LSM atau instansi benar2 komitmen pada lingkungan hidup seharusnya mereka bisa membagi “pengetahuan” yg lebih tersebut kepada masyarakat. sehingga kurikulum lingkungan hidup bisa diterapkan dimana saja dan kapan saja dan oleh siapa saja!
dalam hal pendidikan lingkungan tidak bisa dipandang
sebelah mata dan tidak bisa pula dibebankan pada sekelompok orang saja intinya
harus ada kerjasama berbagai pihak
seperti yang sedang saya lakukan di pontianak kalimantan
barat.
saya butuh masukan dan referansi guna penyuksesan programe
ini
untuk di Kalbar, sila kontak Kepala Bapedalda Propinsi
Kalbar, tahun kemarin ada beberapa bahan saya kirimkan ke beliau.
pendidikan lingkungan, di indonesia tak pernah ada yang
tuntas sampai pada penilaian dampak pembelajaran, selalu terputus, ada program
ada buku, ada proyek, ada kesibukan! sekolah dijadikan kelinci percobaan,
megap-megap diantara tuntutan meluluskan siswa, mencoba berlari mensejajarkan
kapasitas dengan kebijakan negeri yang selalu berubah cepat, tidak konsisten!
Lembaga asing kasih funding, bikin buku, aktivis dapet peran, guru dilatih, hanya itu, soal pembelajaran itu mampu mengubah karakter itu urusan nanti, program selesai, tinggal puing plh saja.
Lembaga asing kasih funding, bikin buku, aktivis dapet peran, guru dilatih, hanya itu, soal pembelajaran itu mampu mengubah karakter itu urusan nanti, program selesai, tinggal puing plh saja.
orang-orang rame teriak setuju plh diterapkan! untuk
evaluasi, nol!, peran orang tua tak pernah digali, peran ibu tak pernah
dilirik, peran pengawas sekolah tak pernah dipandang, PLH Gagal!
PLH erat kaitannya dengan sikap, tapi justeru strategi
psikologi tak pernah dibongkar untuk disandingkan dengan metode penerapan,
hingga akhirnya outcome plh hanya mimpi.
Buatku, PLH justeru akan lebih kuat jika disandingkan
dengan startegi psikologis dengan melibatkan peran orangtua siswa.
saya setuju dengan pendidikan lingkugan
kebetulan saya di minta untuk ngajar pendidikan lingkungan di sebuah PGTK di bulan agustus depan.
ada yang bisa bantu saya tentang modul-modul yang up to date. saya kebetulan sudah 5 tahun tidak menangani tentang lingkungan walaupun back ground saya kehutanan.
terima kasih
kebetulan saya di minta untuk ngajar pendidikan lingkungan di sebuah PGTK di bulan agustus depan.
ada yang bisa bantu saya tentang modul-modul yang up to date. saya kebetulan sudah 5 tahun tidak menangani tentang lingkungan walaupun back ground saya kehutanan.
terima kasih
Setuju dengan Sylvie, pendidikan lingkungan tidak bisa
dibebankan di pundak guru sekolah. Seperti pendidikan lainnya, pendidikan
lingkungan terhadap anak juga tanggung jawab orang tua. Anak lebih banyak
meniru orang tua ketimbang gurunya, misalnya menanamkan kebiasaan buang sampah
di tempatnya. Sayangnya, banyak penduduk dewasa Indonesia kurang peduli akan
hal ini. Penyadaran terhadap mereka harus dilakukan. Tidak ada salahnya bila
pendidikan lingkungan dimasukkan dalam “kurikulum” kegiatan keagamaan. Misalnya
dalam pengajian di lingkungan RT/RW dan diskusi di gereja. Di beberapa daerah
di Indonesia, tokoh agama dan adat memiliki kekuatan untuk “mendoktrin” warganya,
termasuk dalam hal kelestarian lingkungan. Bahkan kearifan lokal pun sangat
kaya kaidah. Sayangnya “kurikulum modern” yang dicetuskan pemerintah pusat dan
daerah kurang mengakomodir hal ini.
setuju kalo plh itu sendiri sebetulnya tidak butuh kurikulum, kalo aku melihatnya akan lebih dinamis dan hangat jika pe-el-ha itu sebagai wahana berbagi pengetahuan tanpa terikat pada kurikulum yang justeru dengan keberadaannya mengungkung dan mengekang metodologi pembelajaran pl itu sendiri, hehehhee
setuju kalo plh itu sendiri sebetulnya tidak butuh kurikulum, kalo aku melihatnya akan lebih dinamis dan hangat jika pe-el-ha itu sebagai wahana berbagi pengetahuan tanpa terikat pada kurikulum yang justeru dengan keberadaannya mengungkung dan mengekang metodologi pembelajaran pl itu sendiri, hehehhee
Peran orangtua susah
juga, krn orang tua gak bisa di-training. Kalo gak salah, di jerman waktu baru
mulai pendidikan lingkungan, malah anak2nya yang mendidik orang tua mengenai
pemisahan sampah, krn anak2 yang terkena exposure dari kurikulum baru
pendidikan lingkungan tsb. Jadi kemungkinan besar tidak bisa mengandalkan
orangtuanya, kecuali ada kampanye lingkungan besar2an melalui media, sehingga
mengubah mindset masyarakat. Saya rasa penekanannya harus dalam model
kurikulumnya, yaitu menekankan kebisaan dan inisiatif siswa itu sendiri. Tugas2
yang diberikan harus membangkitkan kreativitas dan penerapan dalam kehidupan
sehari2, bukan sekedar assessment siswa melalui ujian tertulis saja. Juga
nilai2 yang harus ditekankan kepada siswa adalah untuk berani berpikir beda, karena
siswa harus siap2 dihadapkan dengan situasi sosial yang tidak mendukung dirinya
untuk bersikap sesuai teori2 ilmu lingkungan. Coba, di rumah si siswa tsb,
siapa yang melakukan pemisahan sampah? Barangkali bapaknya sendiri kalau nyetir
mobil buangsampah di jalanan. Bagaimana pendidik bisa berusaha membawa siswa ke
dalam pola pikir yang ‘berani beda’ tsb.
Bagaimana kalau kita buat Buku Wiki mengenai rancangan
kurikulum pendidikan lingkungan hidup, kalau kita semua skeptis dengan apa yg
dilakukan depdiknas? Mari masuk ke http://id.wikibooks.org
dan mari mulai membuat Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar