TUGAS MAKALAH MENEJEMEN LINGKUNGAN
“TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA
MANOKWARI”
Oleh:
Yopie Saiba
Npm:2080613006
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
2011
Kondisi
Umum
Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Meja secara georafis
terletak pada koordinat 134°03'17" sampai 134°04'05" Bujur Timur dan
0°51'29" sampai 0°52'59" Lintang Selatan dengan luas kawasan adalah
460,25 ha. Kawasan ini terletak pada bagian Utara Pusat Kota Manokwari dengan
jarak ± 3 km, untuk mencapai kawasan ini dapat ditempuh dengan menggunakan
kendaraan roda dua ataupun roda empat. Dalam kawasan terdapat jalan beraspal
sepanjang 7 km yang membelah kawasan dari arah Barat (Asrama mahasiswa Unipa)
ke arah timur tenggara kawasan (Komplek Sarinah-Kelurahan Manokwari Timur) dan
jalan lingkar Anggori - Pasir Putih-Amban sejauh 24 km. Secara administrasi TWA
Gunung Meja terletak di Kecamatan Manokwari, Kabupaten Manokwari-Papua
Barat.
TWA Gunung Meja berada pada ketinggian 16-210 m dpl dengan
topografi bervariasi dari datar hingga bergelombang ringan ke arah Timur dan
bergelombang berat dari Timur ke arah Barat dengan puncak tertinggi (puncak
Bonay) ± 210 meter dpl. Sedangkan, pada sisi bagian Selatan dan Utara
terdapat beberapa tempat yang bertebing karang terjal dan lereng yang curam.
Pada puncak terdapat daerah yang memiliki relief kecil hampir datar menyerupai
permukaan meja. Karena bentuk fisiograti lahan yang demikian, sehingga
kawasan ini dinamakan Gunung Meja (Tafelberg). Fisiografi lahan dengan tebing
karang terjal dan berteras pada sisi sebelah Selatan ke Barat Laut kawasan
merupakan wilayah penyebaran sumber mata air.
Kawasan Gunung Meja secara Lithostratigarfi termasuk dalam
strata Formasi Manokwari (formasi befoor). Formasi ini terdiri dari batu
gamping terumbu, sedikit biomikrit, kasidurit dan kalkarenit mengandung
ganggang dan foraminitera. Jenis tanah yang dominan adalah tanah kapur
kemerahan dan tanah endapan aluvial. Leppe D dan Tokede MJ. 2008, menggolongkan
jenis tanah di kawasan TWA Gunung Meja dalam empat jenis yang umumnya
memiliki lapisan tanah atas (top soil) yang sangat tipis yaitu < 30 cm.
Keempat jenis tanah tersebut adalah tanah liat, tanah kapur, tanah berbatu dan
tanah berkarang. Berdasarkan sifat kimia tanahnya, tanah di kawasan TWA Gunung
Meja termasuk kelompok tanah marjinal, karena kandungan kimia tanah berkisar
antara sangat rendah sampai tinggi.
Sejarah
Hutan Gunung Meja ditetapkan sebagai kawasan konservasi
sejak jaman Pemerintahan Hindian Belanda. Gagasan itu berawal pada bulan
Agustus 1953, yaitu saat kunjungan Tim Kehutanan Pemerintah Hindia Belanda,
yang terdiri dari : Ir. J.F.V.Zieck (Kepala Seksi Inventarisasi Hutan); Ir. J.
Fokkinga (Ketua Komisi Pertanian) dan H. Schrijn (Kepala Pemangkuhan Hutan) ke
Gunung Meja. Pada saat itu, disepakati bahwa areal hutan primer seluas 100 ha
dan hutan sekunder seluas 360 ha termasuk jurang dan tebing-tebing karang yang
ada diusulkan sebagai hutan lindung dengan fungsi utama pengatur tata air
(Hidroorologi).
Untuk mendukung kesepakatan tersebut pada tahun 1954
dilakukan inventarisasi hutan primer seluas 100 ha, dan pada tahun 1956 dan
1957 mencapai 360 ha pada. Selain itu juga dilakukan survey tanah dan analisis
vegatasi untuk jenis-jenis pohon yang mencapai diameter 35 cm dengan intensitas
sampling 10 % oleh Jance Ainusi (pengenal jenis lokal) dan Ir. Faber (ahli
botani Belanda).
Dalam rangka pemanfaatan fungsi hidroorologis tersebut,
pada tahun 1957 Perusahaan Air Minum (PDAM) Manokwari menggagas untuk memasang
pipa dari sumber mata air di Gunung Meja ke daerah Kuawi dan Fanindi Unjung
(Surat PDAM Manokwari nomor 574 tanggal 4 Maret 1957). Kemudian dengan
pertimbangan letak dan jarak dari pusat Kota Manokwari yang sangat dekat,
Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan aneka fungsi hutan Lindung Gunung Meja
sebagai berikut:
1. Fungsi
pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan
2. Fungsi
penelitian
3. Taman
Hutan/Botanical Garden
4. Tempat
rekreasi untuk masyarakat kota Manokwari.
Selain aneka fungsi tersebut pada tahun 1959, Pemerintah
Hindia Belanda juga mendorong kawasan Hutan Lindung Hidrologis Gunung Meja
untuk perlindungan satwa (Surat Kepala Seksi Pemangkuan Hutan nomor 6486/99,
tanggal September 1959, tentang Monumen Alam Hutan Lindung Gunung Meja). Namun demikian
pengelolaan aneka fungsi Hutan Lindung Gunung Meja tersebut belum sempat
terwujud, karena situasi politik yang mengharuskan pemerintah Hindia Belanda
untuk meninggalkan Nederland Neuw Guinea (Tanah Papua) dan menyerahkan
kekuasaannya di Tanah Papua (termasuk pengelolaan Hutan Lindung Gunung Meja) ke
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1963. Kemudian Pemerintah Republik
Indonesia mempercayakan kepada Provinsi Irian Barat.
Kemudian pada tahun 1980 sampai sekarang dengan tetap
memperhatikan fungsi hidroorologinya Pemerintah Republik Indonesia menunjuk
Hutan Lindung Gunung Meja sebagai Hutan Wisata dengan luas 500 Ha (SK Menteri
Pertanian nomor 19/Kpts/Um.1/1980 tanggal 12 Januari 1980). Sejak saat ini TWA
Gunung Meja dikelola oleh Resort KSDA Manokwari, Sub Balai KSDA Papua I, Balai
KSDA VIII Ambon yang sekarang menjadi Resort KSDA Gunung Meja, Seksi Konservasi
Wilayah (SKW) III Bintuni, Bidang KSDA Wilayah II Fakfak, Balai Besar KSDA
Papua Barat.
Sejak tahun 1980 sampai sekarang, berbagai penelitian
ilmiah telah banyak dilakukan, baik yang dikerjakan oleh Balai KSDA sendiri
selaku pengelola maupun yang dilakukan oleh instansi terkait, perguruan tinggi
dan lembaga swadaya masyarakat. Beberapa instansi terkait yang pernah melakukan
kegiatan survey dan penelitian di dalam kawasan TWA Gunung Meja antara lain:
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan
NRM.
Hidrologi
Kawasan TWA Gunung Meja memiliki ± 30 mata air berupa
gua-gua dan mata air yang tersebar di dalam dan sekitar kawasan (Zieck, 1960).
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Manokwari melaporkan bahwa
sebanyak 12 mata air yang dijadikan sumber pasokan air bagi masyarakat kota
Manokwari dan 7 diantaranya terdapat di dalam dan sekitar TWA Gunung Meja. Mata
air ini sebagian besar berada di kaki lereng sisi sebelah Selatan. Sumber air
yang dimanfaatkan oleh PDAM mampu memasok 10,30 % dari total kebutuhan air PDAM
Manokwari.
Berdasarkan data NRM, rata-rata tegakan hutan TWA Gunung
Meja mampu mampu menyimpan air 3.5892 ton/ha. Jika dikalikan dengan luas
kawasan maka, TWA Gunung Meja seluas 460,25 ha mampu menyimpan air sebanyak
1649,0297 ton air, yang akan dikeluarkan pada setiap mata air sepanjang
tahun.
Sosial Ekonomi Budaya
Kawasan TWA Gunung Meja secara administratif berbatasan
langsung dengan 4 wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Amban, Kelurahan Padarmi,
Kelurahan Manokwari Timur dan Kelurahan Pasir Putih. Penduduk yang bermukim di
keempat kelurahan tersebut sampai tahun 2007 berjumlah 28.795 jiwa.
Etnik yang bermukim pada
kampung-kampung tersebut umumnya campuran etnik asli Manokwari dan etnik
pendatang. Etnik penduduk asli terutama dari suku Mole, Hatam, Sough dan
Meyakh. Sedangkan etnik pendatang atau urban umumnya berasal dari Sorong, Biak,
Serui serta pendatang dari luar, yaitu dari Makasar, Ambon, Buton Timur dan
Sumatera (Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. 2004).
Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi di dalam dan di
sekitar kawasan TWA Gunung Meja, adalah perladangan/kebun masayarakat,
pengambilan kayu bakar, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, perburuan,
pengambilan tanah (top soil), pengambilan batu-batu; arang, pemukiman penduduk
dan bangunan fisik lainnya.
Kawasan Gunung Meja berdasarkan filosofi budaya masyarakat
Afrak, yaitu kelompok suku Hatam dan Suku Sough yang bermukim di sekitar
kawasan, memandang Hutan Gunung Meja sebagai AYAMFOS yang artinya dapur hidup.
Ayamfos yang berarti Hutan Gunung Meja baik berupa tanah, air dan hutan yang
terkandung di dalamnya merupakan sumber penghidupan masyarakat yang perlu
dijaga, dilindungi dan dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat dalam
kehidupannya. Hutan Gunung Meja “Ayamfos” berfungsi sebagai tempat berkebun,
sumber protein nabati dan hewani dalam pemenuhan kehidupan masyarakat
sehari-hari, sumber air barsih bagi kehidupan masyarakat, tempat melakukan
usaha-usaha ekonomi pertanian dan juga situs budaya “tanah larangan/tempat
pamali bagi masyarakat (Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari.
2004).
BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Taman Wisata Alam adalah salah satu dari kawasan
pelestarian alam, dimana fungsi utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan
rekreasi alam, perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keragaman
jenis tumbuhan, satwa dan keunikan alam. Sebanyak 124 unit lokasi Taman wisata
alam (TWA) seluas 1.041.345,21 ha, yang terdiri dari 105 unit lokasi TWA
daratan (271.224,51 ha) dan sisanya 19 unit lokasi TWA adalah daratan dengan
perairan (770.120,70 ha), (Anonimous 2007).
Taman Wisata Alam Gunung Meja di Manokwari, Papua Barat.
adalah salah satu dari beberapa lokasi TWA dataran yang ada Indonesia yang
hingga saat ini belum mendapat perhatian yang khusus dalam menangani dan
menyikapi kawasan pelestarian tersebut. Bila dilihat, potensi dan manfaatan
kawasan ini sangat menjanjikan yang dapat dijadikan aset pemerintah dalam
meningkatkan PAD dan sebagai penyimpan maupun pengawetan keanekaragaman jenis
baik flora, fauna dan ekosisemnya.
Risalah kawasan
Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA Gunung Meja)
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 19/Kpts/UM/I/1980,
tanggal 12 Januari 1980 dengan luas areal 500 ha. Namun setelah dilakukan
rekontruksi penataan batas kawasan pada tahun 1990 oleh Sub Balai Inventarisasi
dan Penataan Hutan Manokwari, diperoleh luasan definitif yaitu 460,25 ha.
Sebagai kawasan pelestarian TWA Gunung Meja merupakan salah satu hutan dataran
rendah di Manokwari yang mempunyai potensi flora dan fauna yang beragam dengan
bentuk wilayah yang unik. Karena bentuk wilayah yang unik tersebut terutama
struktur geologi dan dengan kepadatan vegetasi hutannya serta letaknya yang
dekat dengan kota maka hutan ini disebut juga sebagai hutan Lindung
Hidro-orologis (pengatur tata air). Secara geografis hutan TWA gunung Meja
terletak antara koordinat 1340 04’ 30” -1340 05’ 32” Bujur Timur dan 00
50’25” - 00’ 55” Lintang Selatan. Formasi geologis di daerah ini mediteran
dengan batuan sedimen neogen. Lapisan tanah dangkal dan berbatu di antara
batuan kapur keras. Dengan ketinggian tempat mencapai 175 m dpl, kawasan ini
memiliki topografi yang bervariasi. Mulai dari datar hingga bergelombang ringan
sampai berat, pada beberapa daerah tertentu dijumpai jurang yang terjal dan
lereng yang tajam. Klasifikasi Schmidt and Furguson, kawasan ini termasuk
dalam tipe iklim A dengan curah hujan tahunan sebesar 2.684,5 mm per
tahun atau sekitar 220,71 mm per bulan. Rata-rata suhu maksimum berkisar pada
30,3 0C dan suhu minimum berisar pada 23,5 0C, dengan kelembaban maksimum 88,6%
dan minimum sekitar 84%. 51sebelumnya saya telah katakan bahwa Manokwari adalah
daerah tujuan wisata yang baik di tanah Papua. Mengapa demikian? Apa saja yang
bisa dijumpai oleh para wisatawan ketika mengunjungi daerah ini? Tentu saja
pernyataan saya memiliki alasan yang baik sehingga saya berani mempromosikan
Manokwari di website ini. Okay, pada beberapa paragraf berikut, saya akan
menjelaskan beberapa daya tarik wisata di Manokwari yang terbagi dalam tiga
wilayah utama yakni hutan dan pegunungan, kota dan masyarakatnya, serta pantai
dan terumbu karang. Masing-masing wilayah wisata itu akan saya jelaskan sebagai
berikut:
Potensi Kawasan
TWA Gunung Meja
Flora
Tumbuhan Berkayu (Woody plant):Keragaman flora di kawasan
ini cukup beragam mulai dari tumbuhan berkayu hingga tumbuhan tidak berkayu.
Pada jenis tumbuhan berkayu terdapat perubahan struktur vegetasi, dimana
vegetasi tingkat tiang semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena frekuensi
pengambilan jenis kayu pada fase pertumbuhan ini (10-20 cm) yang sangat tinggi.
Pengambilan kayu yang dilakukan oleh masyarakat pada vegetasi tingkat tiang ini
umumnya digunakan untuk pembuatan pagar kebun, kerangka bangunan rumah atau
pondok dan kayu bakar. Lasamahu (1996), melaporkan pengambilan hasil hutan dari
kawasan ini adalah untuk hasil hutan kayu rata-rata sebesar 71,8100 m3 per
tahun, sedangkan hasil hutan non kayu beupa bambu 0,0937 m3 per tahun, rotan
0,0421 m3 per tahun, anggrek 27 tumbuhan per tahun.
Tumbuhan Non
Berkayu (Non Woody plant):
Beberapa jenis tumbahan non kayu yang terdapat
di kawasan hutan TWA gunung meja berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim
peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari diketahuiJenis Bambu : diketahui
terdapat 8 jenis di daerah ini, dari ± 32 jenis yang ada di Papua (Widjaya, 1988).
Pada jenis anggrek (Dendrobium littorale, D. grastidium, D. bifalce, D.
liniale, Grammatophyllum sciptum BL.,dan Pamatocalpa sp., dll). Palem (Caryota
rumphiana Mart., Arenga microcarpa Becc.,Orania sp., dll). Dan pada jenis Rotan
(Calamus aruensis Becc dan Karthalsia zippeli Burrret)
Fauna
Avifauna termasuk dalam kelompok satwaliar yang
dapat menjadi indikator kondisi suatu habitat. Burung yang ditemukan di kawasan
TWA Gunung Meja sekitar tahun 90 an, cukup banyak jenisnya, beberapa jenis yang
merupakan satwa burung dilindungi terdapat di kawasan tersebut. Harijadi dan
Wajo (1996), melaporkan di kawasan Hutan Wisata Gunung Meja dengan menggunakan
metode perjumpaan mendapatkan sedikitnya 39 jenis burung jumlah yang
ditemukan pada tahun tersebut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis
yang ditemukan oleh Warsito dan Oktovina (2005) sebanyak 25 jenis burung.
Penurunan jenis burung di kawasan ini diduga sebagai akibat dari semakin
banyaknya kawasan terbuka, perburuan liar, perambahan hutan , pembukaan areal
kebun dan lain-lain.
WISATA
Goa
Dari 19 goa alam yang ditemukan, terdapat 4 goa
alam yang berukuran besar. di kawasan TWA Gunung Meja yang sebetulnya sangat
potensial untuk obyek wisata. Namun hingga saat ini belum adanya penangganan
khusus bagi obyek ini. Goa tersebut menurut masyarakat setempat adalah goa
alami yang terjadi dan ada sejak dari dahulu. Oleh sebagian masyarakat, dahulu
digunakan sebagai tempat untuk mengambil air minum namun saat ini pengambilan
air minum di goa tersebut kurang diminati karena pada sebagian masyarakat telah
membuat sumur sendiri dan ada juga yang telah menggunakan layanan PDAM.
Sementara itu, berapa goa lainnya telah menjadi sarana bermain anak-anak
sehingga beberapa goa tersebut tidak terpelihara dengan baik dan menjadi kotor.
Tugu Jepang
Tugu Jepang ini merupakan tugu peringatan
pendaratan dan pendudukan tentara Jepang di daerah Manokwari. Namun saat ini
Tugu Jepang yang merupakan saksi sejarah telah rusak akibat ulah orang yang
tidak bertanggung jawab dan kurangnya perhatian dari instansi terkait terhadap
situs-situs sejarah yang ada di daerah ini.
Mata Air
Sebagai kawasan hidro-orologis bagi masyarakat
di kota Manokwari, kawasan TWA Gunung Meja memiliki fungsi yang penting. Tim
penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari menemukan sedikitnya terdapat
23 mata air di kawasan ini yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
kawasan dan menjadi alternative dalam mengambil air oleh mayarakat kota
Manokwari di kala musim kemarau (Juni- Agustus).
Hutan Pendidikan
Di bagian Utara, dapat dijumpai beberapa petak
tanaman kehutanan yang terpelihara dengan baik, kondisi tersebut sampai saat
ini masih dapat terlihat. Hal ini disebabkan, petak tanaman tersebut merupakan
hutan pendidikan yang masih dikelola dan dipelihara dengan baik oleh instansi
terkait. Selain petak tersebut, pada bagian Timur telah dibuatkan areal plot
monitoring sebagai kawasan penelitian/pendidikan biodiversitas flora di
Gunung Meja. Sebagai maksud dari pembuatan plot, untuk mengetahui keanekaragaman
jenis, potensi dan menetapkan kawasan ini sebagai Areal Sumberdaya Genetik
(ASDG) penyimpan maupun pengawetan keanekaragaman jenis baik flora dan
ekosisemnya.
Hutan dan
Pegunungan
Di kaki Gunung Meja Manokwari ada sebuah penginapan murah.
Namanya Penginapan Kagum.
Wisatawan asing suka menginap di situ karena disamping nyaman dan terjangkau
harganya, penginapan ini dekat dengan lokasi hutan yang ingin mereka kunjungi. Hutan
hujan tropis memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Papua. Hutan
adalah lokasi untuk sumber makanan, kayu dan inspirasi seni. Di samping itu
hutan berguna untuk menyerap CO2 yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas
masyarakat dunia. Pohon-pohon tinggi di hutan Gunung Meja yang terletak di
dekat kota telah lama menjadi rumah bagi burung-burung langka endemik Papua
seperti Kakaktua Putih, Kakaktua Raja, Taun-taun. Bermacam-macam anggrek hidup
pula di pepohonan yang hijau tersebut. Hutan di daerah pantai masih banyak
didiami oleh satwa liar seperti soa-soa, ular, kuskus dan bermacam-macam burung
kecil lainnya.
Tanaman-tanaman tropis baik yang memiliki khasiat sebagai
obat ataupun yang menghasilkan buah-buahan banyak kita jumpai di hutan tersebut.
Buah-buah ini merupakan sumber makanan utama bagi berbagai jenis binatang liar
yang hidup di dalam hutan tropis Papua. Ketika kita berjalan menyusuri
belantara hutan Gunung Meja, terutama di musim hujan, akan mudah sekali kita
menjumpai jamur yang memiliki bentuk yang indah dan menawan. Bunga-bunga hutan
merupakan penghias alam yang menyediakan nektar bagi kupu-kupu dan
burung-burung kecil. Kali-kali kecil yang menuju ke laut adalah tempat hidupnya
ikan, kepiting yang bentuknya unik. Perjalanan sepanjang lereng Gunung Meja
merupakan sebuah pengalaman yang mengejutkan karena di beberapa tempat, masih
nampak sisa-sisa terumbu karang purba yang hidup di daerah itu ribuan atau
jutaan tahun yang lalu. Karena tekanan tektonik lapisan bumi maka tempat yang
dulunya adalah dasar laut terangkat jauh dari permukaan laut hingga ratusan
meter lalu membentuk Gunung Meja. Oleh karena itu, hutan gunung meja yang kaya
akan spesies tumbuhan, serangga maupun hewan tidak hanya menjadi tempat yang
ideal bagi pariwisata yang berorientasi lingkungan tetapi juga bagi
tujuan-tujuan pendidikan. Ada beberapa tempat di kawasan ini yang memiliki gua
alam. Gua-gua tersebut berada di daerah yang terpencil sehingga sangat sedikit
sekali orang yang mengetahui tentang keberadaannya. Di dalam sana, kita bisa
menjumpai kelelawar-kelelawar kecil, kadal dan serangga kecil.
Kota Manokwari dan Masyarakatnya
Manokwari memanjang
sesuai alur Teluk Dorey - tempat yang dijadikan oleh seorang peneliti alam
Alfred Russel Wallace sebagai wilayah penelitian di tahun 1858. Kota yang dulu
hanya berupa perkampungan kecil, kini telah berubah menjadi sebuah ibu kota
Provinsi dengan perkembangan pembangunan yang pesat sekali. Di sini, para
wisatawan bisa bertemu dengan seniman-seniman yang memiliki talenta yang
tinggi. Mereka menenun kain secara manual, membuat ukir-ukiran yang terbuat
dari kayu, melukis pemandangan dan beraneka ragam satwa maupun tanaman Papua,
serta menyuguhkan tari-tarian bergaya Pasifik yang indah dan menawan. Lagu-lagu
tradisional Papua diputar oleh para sopir taksi, stasiun radio FM yang CDnya
bisa dibeli di toko-toko kaset atau pasar. Pasar tradisional di Kota Manokwari
ada dua buah yakni Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi.
Di sini wisatawan bisa menikmati
bermacam-macam buah yang diproduksi oleh petani-petani lokal. Terkadang
binatang-binatang buruan seperti babi hutan, tikus tanah, dan daging rusa
dijual oleh penduduk asli. Tempat para nelayan menjual ikan terletak beberapa
puluh meter dari pasar induk. Di Malam hari, warung makan di pinggir jalan dan
restoran menyediakan bermacam-macam makanan dari yang bergaya Papua hingga yang
bercita rasa Jawa, Minahasa maupun Mandarin. Seafood tersedia di hampir semua
restoran yang ada di kota ini.
Pantai,
Pulau dan Terumbu Karang
Masyarakat kota
Manokwari suka sekali berenang di Pantai Pasir Putih setiap hari Minggu atau
hari-hari libur lainnya. Perjalanan ke pantai itu lamanya kurang lebih sepuluh
menit dari kota. Di samping pantai pasir putih, ada juga pantai Amban yang
menghadap lautan pasifik. Deburan ombak begitu kuat terdengar hingga kawasan
hutan gunung meja. Di tengah-tengah Teluk Dorey terdapat tiga buah pulau,
Mansinam, Lemon dan Raimuti. Pada tanggal 5 Februari 1855, dua orang Eropa
mendarat di Pulau Mansinam untuk menyebarkan injil kepada penduduk asli Papua.
Untuk menghormati kedua penginjil itu, sebuah monumen salib besar dibangun di
sana. Teluk Dorey adalah kawasan penyelaman terumbu karang dan bangkai kapal
yang sangat terkenal di Indonesia bahkan di dunia. Beberapa bangkai kapal besar
dan kecil berbaring di dasar laut sekitar Pulau Mansinam dan Pulau Lemon serta
Pantai Pasir Putih.
Daftar pustaka
Harijadi Bambang Tj dan M. J. Wajo, 1996. IdentifikasiJenis Burung Pada
Kawasan TWA Gunung Meja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).
Lasamahu, L. 1996. Survei Pengambilan Hasil Hutan dan Jenis
Penggunaannya pada Hutan Wisata Gunung Meja. Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan).
Potensi Biofisik Kawasan Hutan TWA Gunung Meja Manokwari. Balai
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari 2006.
Warsito dan
Oktovina Eryanan .2006. Prosiding. Ekspose Hasil-hasil Penelitian dan
PameranIPTEK, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku.
Manokwari, 18-19 April 2006.
Anonim. 2004. Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja
Manokwari. NRM. Manokwari.
Anonim. 2008. Rencana Pengelolaan Jangka
Panjang TWA Gunung Meja Tahun 2009-2024, Balai Besar KSDA Papua Barat. Sorong.
Leppe D dan Tokede MJ. 2008. Potensi Biofisik
Taman Wisata Alam Gunung Meja. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar