Jumat, 08 November 2013

TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI”




TUGAS MAKALAH MENEJEMEN LINGKUNGAN
“TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA MANOKWARI”

Oleh:
Yopie Saiba
Npm:2080613006












JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
2011







Kondisi Umum
Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Meja secara georafis terletak pada koordinat 134°03'17" sampai 134°04'05" Bujur Timur dan 0°51'29" sampai 0°52'59" Lintang Selatan dengan luas kawasan adalah 460,25 ha. Kawasan ini terletak pada bagian Utara Pusat Kota Manokwari dengan jarak ± 3 km, untuk mencapai kawasan ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Dalam kawasan terdapat jalan beraspal sepanjang 7 km yang membelah kawasan dari arah Barat (Asrama mahasiswa Unipa) ke arah timur tenggara kawasan (Komplek Sarinah-Kelurahan Manokwari Timur) dan jalan lingkar Anggori - Pasir Putih-Amban sejauh 24 km. Secara administrasi TWA Gunung Meja terletak di Kecamatan Manokwari, Kabupaten Manokwari-Papua Barat. 
TWA Gunung Meja berada pada ketinggian 16-210 m dpl dengan topografi bervariasi dari datar hingga bergelombang ringan ke arah Timur dan bergelombang berat dari Timur ke arah Barat dengan puncak tertinggi (puncak Bonay) ± 210 meter dpl.  Sedangkan, pada sisi bagian Selatan dan Utara terdapat beberapa tempat yang bertebing karang terjal dan lereng yang curam. Pada puncak terdapat daerah yang memiliki relief kecil hampir datar menyerupai permukaan meja.  Karena bentuk fisiograti lahan yang demikian, sehingga kawasan ini dinamakan Gunung Meja (Tafelberg). Fisiografi lahan dengan tebing karang terjal dan berteras pada sisi sebelah Selatan ke Barat Laut kawasan merupakan wilayah penyebaran sumber mata air. 
Kawasan Gunung Meja secara Lithostratigarfi termasuk dalam strata Formasi Manokwari (formasi befoor). Formasi ini terdiri dari batu gamping terumbu, sedikit biomikrit, kasidurit dan kalkarenit mengandung ganggang dan foraminitera. Jenis tanah yang dominan adalah tanah kapur kemerahan dan tanah endapan aluvial. Leppe D dan Tokede MJ. 2008, menggolongkan jenis tanah di kawasan TWA Gunung Meja dalam empat jenis yang umumnya memiliki lapisan tanah atas (top soil) yang sangat tipis yaitu < 30 cm. Keempat jenis tanah tersebut adalah tanah liat, tanah kapur, tanah berbatu dan tanah berkarang. Berdasarkan sifat kimia tanahnya, tanah di kawasan TWA Gunung Meja termasuk kelompok tanah marjinal, karena kandungan kimia tanah berkisar antara sangat rendah sampai tinggi.
Sejarah
Hutan Gunung Meja ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak jaman Pemerintahan Hindian Belanda. Gagasan itu berawal pada bulan Agustus 1953, yaitu saat kunjungan Tim Kehutanan Pemerintah Hindia Belanda, yang terdiri dari : Ir. J.F.V.Zieck (Kepala Seksi Inventarisasi Hutan); Ir. J. Fokkinga (Ketua Komisi Pertanian) dan H. Schrijn (Kepala Pemangkuhan Hutan) ke Gunung Meja. Pada saat itu, disepakati bahwa areal hutan primer seluas 100 ha dan hutan sekunder seluas 360 ha termasuk jurang dan tebing-tebing karang yang ada diusulkan sebagai hutan lindung dengan fungsi utama pengatur tata air (Hidroorologi). 
Untuk mendukung kesepakatan tersebut pada tahun 1954 dilakukan inventarisasi hutan primer seluas 100 ha, dan pada tahun 1956 dan 1957 mencapai 360 ha pada. Selain itu juga dilakukan survey tanah dan analisis vegatasi untuk jenis-jenis pohon yang mencapai diameter 35 cm dengan intensitas sampling 10 % oleh Jance Ainusi (pengenal jenis lokal) dan Ir. Faber (ahli botani Belanda).
Dalam rangka pemanfaatan fungsi hidroorologis tersebut, pada tahun 1957 Perusahaan Air Minum (PDAM) Manokwari menggagas untuk memasang pipa dari sumber mata air di Gunung Meja ke daerah Kuawi dan Fanindi Unjung (Surat PDAM Manokwari nomor 574 tanggal 4 Maret 1957). Kemudian dengan pertimbangan letak dan jarak dari pusat Kota Manokwari yang sangat dekat, Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan aneka fungsi hutan Lindung Gunung Meja sebagai berikut:
1. Fungsi pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan
2. Fungsi penelitian
3. Taman Hutan/Botanical Garden
4. Tempat rekreasi untuk masyarakat kota Manokwari.
Selain aneka fungsi tersebut pada tahun 1959, Pemerintah Hindia Belanda juga mendorong kawasan Hutan Lindung Hidrologis Gunung Meja untuk perlindungan satwa (Surat Kepala Seksi Pemangkuan Hutan nomor 6486/99, tanggal September 1959, tentang Monumen Alam Hutan Lindung Gunung Meja). Namun demikian pengelolaan aneka fungsi Hutan Lindung Gunung Meja tersebut belum sempat terwujud, karena situasi politik yang mengharuskan pemerintah Hindia Belanda untuk meninggalkan Nederland Neuw Guinea (Tanah Papua) dan menyerahkan kekuasaannya di Tanah Papua (termasuk pengelolaan Hutan Lindung Gunung Meja) ke Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1963. Kemudian Pemerintah Republik Indonesia mempercayakan kepada Provinsi Irian Barat. 
Kemudian pada tahun 1980 sampai sekarang dengan tetap memperhatikan fungsi hidroorologinya Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Hutan Lindung Gunung Meja sebagai Hutan Wisata dengan luas 500 Ha (SK Menteri Pertanian nomor 19/Kpts/Um.1/1980 tanggal 12 Januari 1980). Sejak saat ini TWA Gunung Meja dikelola oleh Resort KSDA Manokwari, Sub Balai KSDA Papua I, Balai KSDA VIII Ambon yang sekarang menjadi Resort KSDA Gunung Meja, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Bintuni, Bidang KSDA Wilayah II Fakfak, Balai Besar KSDA Papua Barat.
Sejak tahun 1980 sampai sekarang, berbagai penelitian ilmiah telah banyak dilakukan, baik yang dikerjakan oleh Balai KSDA sendiri selaku pengelola maupun yang dilakukan oleh instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Beberapa instansi terkait yang pernah melakukan kegiatan survey dan penelitian di dalam kawasan TWA Gunung Meja antara lain: Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan NRM. 




Hidrologi
Kawasan TWA Gunung Meja memiliki ± 30 mata air berupa gua-gua dan mata air yang tersebar di dalam dan sekitar kawasan (Zieck, 1960). Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Manokwari melaporkan bahwa sebanyak 12 mata air yang dijadikan sumber pasokan air bagi masyarakat kota Manokwari dan 7 diantaranya terdapat di dalam dan sekitar TWA Gunung Meja. Mata air ini sebagian besar berada di kaki lereng sisi sebelah Selatan. Sumber air yang dimanfaatkan oleh PDAM mampu memasok 10,30 % dari total kebutuhan air PDAM Manokwari. 
Berdasarkan data NRM, rata-rata tegakan hutan TWA Gunung Meja mampu mampu menyimpan air 3.5892 ton/ha. Jika dikalikan dengan luas kawasan maka, TWA Gunung Meja seluas 460,25 ha mampu menyimpan air sebanyak 1649,0297 ton air, yang akan dikeluarkan pada setiap mata air sepanjang tahun. 
Sosial Ekonomi Budaya
Kawasan TWA Gunung Meja secara administratif berbatasan langsung dengan 4 wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Amban, Kelurahan Padarmi, Kelurahan Manokwari Timur dan Kelurahan Pasir Putih. Penduduk yang bermukim di keempat kelurahan tersebut sampai tahun 2007 berjumlah 28.795 jiwa.
            Etnik yang bermukim pada kampung-kampung tersebut umumnya campuran etnik asli Manokwari dan etnik pendatang. Etnik penduduk asli terutama dari suku Mole, Hatam, Sough dan Meyakh. Sedangkan etnik pendatang atau urban umumnya berasal dari Sorong, Biak, Serui serta pendatang dari luar, yaitu dari Makasar, Ambon, Buton Timur dan Sumatera (Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. 2004).



Bentuk-bentuk interaksi yang terjadi di dalam dan di sekitar kawasan TWA Gunung Meja, adalah perladangan/kebun masayarakat, pengambilan kayu bakar, pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu, perburuan, pengambilan tanah (top soil), pengambilan batu-batu; arang, pemukiman penduduk dan bangunan fisik lainnya.
Kawasan Gunung Meja berdasarkan filosofi budaya masyarakat Afrak, yaitu kelompok suku Hatam dan Suku Sough yang bermukim di sekitar kawasan, memandang Hutan Gunung Meja sebagai AYAMFOS yang artinya dapur hidup. Ayamfos yang berarti Hutan Gunung Meja baik berupa tanah, air dan hutan yang terkandung di dalamnya merupakan sumber penghidupan masyarakat yang perlu dijaga, dilindungi dan dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat dalam kehidupannya. Hutan Gunung Meja “Ayamfos” berfungsi sebagai tempat berkebun, sumber protein nabati dan hewani dalam pemenuhan kehidupan masyarakat sehari-hari, sumber air barsih bagi kehidupan masyarakat, tempat melakukan usaha-usaha ekonomi pertanian dan juga situs budaya “tanah larangan/tempat pamali bagi masyarakat (Potret Taman Wisata Alam  Gunung Meja Manokwari. 2004).










BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Taman Wisata Alam adalah salah satu dari kawasan pelestarian alam, dimana fungsi utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam, perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keragaman jenis tumbuhan, satwa dan keunikan alam. Sebanyak 124 unit lokasi Taman wisata alam (TWA) seluas 1.041.345,21 ha, yang terdiri dari 105 unit lokasi TWA daratan (271.224,51 ha) dan sisanya 19 unit lokasi TWA adalah daratan dengan perairan (770.120,70 ha), (Anonimous 2007).
Taman Wisata Alam Gunung Meja di Manokwari, Papua Barat. adalah salah satu dari beberapa lokasi TWA dataran yang ada Indonesia yang hingga saat ini belum mendapat perhatian yang khusus dalam menangani dan menyikapi kawasan pelestarian tersebut. Bila dilihat, potensi dan manfaatan kawasan ini sangat menjanjikan yang dapat dijadikan aset pemerintah dalam meningkatkan PAD dan sebagai penyimpan maupun pengawetan keanekaragaman jenis baik flora, fauna dan ekosisemnya.
Risalah kawasan
Hutan Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWA Gunung Meja) ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 19/Kpts/UM/I/1980, tanggal 12 Januari 1980 dengan luas areal 500 ha. Namun setelah dilakukan rekontruksi penataan batas kawasan pada tahun 1990 oleh Sub Balai Inventarisasi dan Penataan Hutan Manokwari, diperoleh luasan definitif yaitu 460,25 ha. Sebagai kawasan pelestarian TWA Gunung Meja merupakan salah satu hutan dataran rendah di Manokwari yang mempunyai potensi flora dan fauna yang beragam dengan bentuk wilayah yang unik. Karena bentuk wilayah yang unik tersebut terutama struktur geologi dan dengan kepadatan vegetasi hutannya serta letaknya yang dekat dengan kota maka hutan ini disebut juga sebagai hutan Lindung Hidro-orologis (pengatur tata air). Secara geografis hutan TWA gunung Meja terletak antara koordinat 1340 04’ 30” -1340 05’ 32” Bujur Timur dan  00 50’25” - 00’ 55” Lintang Selatan. Formasi geologis di daerah ini mediteran dengan batuan sedimen neogen. Lapisan tanah dangkal dan berbatu di antara batuan kapur keras. Dengan ketinggian tempat mencapai 175 m dpl, kawasan ini memiliki topografi yang bervariasi. Mulai dari datar hingga bergelombang ringan sampai berat, pada beberapa daerah tertentu dijumpai jurang yang terjal dan lereng yang tajam. Klasifikasi Schmidt and Furguson, kawasan ini termasuk dalam  tipe iklim A dengan curah hujan tahunan sebesar 2.684,5 mm per tahun atau sekitar 220,71 mm per bulan. Rata-rata suhu maksimum berkisar pada 30,3 0C dan suhu minimum berisar pada 23,5 0C, dengan kelembaban maksimum 88,6% dan minimum sekitar 84%. 51sebelumnya saya telah katakan bahwa Manokwari adalah daerah tujuan wisata yang baik di tanah Papua. Mengapa demikian? Apa saja yang bisa dijumpai oleh para wisatawan ketika mengunjungi daerah ini? Tentu saja pernyataan saya memiliki alasan yang baik sehingga saya berani mempromosikan Manokwari di website ini. Okay, pada beberapa paragraf berikut, saya akan menjelaskan beberapa daya tarik wisata di Manokwari yang terbagi dalam tiga wilayah utama yakni hutan dan pegunungan, kota dan masyarakatnya, serta pantai dan terumbu karang. Masing-masing wilayah wisata itu akan saya jelaskan sebagai berikut:
Potensi Kawasan TWA Gunung Meja
 Flora
Tumbuhan Berkayu (Woody plant):Keragaman flora di kawasan ini cukup beragam mulai dari tumbuhan berkayu hingga tumbuhan tidak berkayu. Pada jenis tumbuhan berkayu terdapat perubahan struktur vegetasi, dimana vegetasi tingkat tiang semakin sedikit. Hal ini disebabkan karena frekuensi pengambilan jenis kayu pada fase pertumbuhan ini (10-20 cm) yang sangat tinggi. Pengambilan kayu yang dilakukan oleh masyarakat pada vegetasi tingkat tiang ini umumnya digunakan untuk pembuatan pagar kebun, kerangka bangunan rumah atau pondok dan kayu bakar. Lasamahu (1996), melaporkan pengambilan hasil hutan dari kawasan ini adalah untuk hasil hutan kayu rata-rata sebesar 71,8100 m3 per tahun, sedangkan hasil hutan non kayu beupa bambu 0,0937 m3 per tahun, rotan 0,0421 m3 per tahun, anggrek 27 tumbuhan per tahun.
Tumbuhan Non Berkayu (Non Woody plant):
Beberapa jenis tumbahan non kayu yang terdapat di kawasan hutan TWA gunung meja berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manokwari diketahuiJenis Bambu : diketahui terdapat 8 jenis di daerah ini, dari ± 32 jenis yang ada di Papua (Widjaya, 1988). Pada jenis anggrek (Dendrobium littorale, D. grastidium, D. bifalce, D. liniale, Grammatophyllum sciptum BL.,dan Pamatocalpa sp., dll). Palem (Caryota rumphiana Mart., Arenga microcarpa Becc.,Orania sp., dll). Dan pada jenis Rotan (Calamus aruensis Becc dan Karthalsia zippeli Burrret)
Fauna
Avifauna termasuk dalam kelompok satwaliar yang dapat menjadi indikator kondisi suatu habitat. Burung yang ditemukan di kawasan TWA Gunung Meja sekitar tahun 90 an, cukup banyak jenisnya, beberapa jenis yang merupakan satwa burung dilindungi terdapat di kawasan tersebut. Harijadi dan Wajo (1996), melaporkan di kawasan Hutan Wisata Gunung Meja dengan menggunakan metode perjumpaan mendapatkan sedikitnya 39 jenis burung  jumlah yang ditemukan pada tahun tersebut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis yang ditemukan oleh Warsito dan Oktovina (2005) sebanyak 25 jenis burung. Penurunan jenis burung di kawasan ini diduga sebagai akibat dari semakin banyaknya kawasan terbuka, perburuan liar, perambahan hutan , pembukaan areal kebun dan lain-lain.
WISATA
Goa
Dari 19 goa alam yang ditemukan, terdapat 4 goa alam yang berukuran besar. di kawasan TWA Gunung Meja yang sebetulnya sangat potensial untuk obyek wisata. Namun hingga saat ini belum adanya penangganan khusus bagi obyek ini. Goa tersebut menurut masyarakat setempat adalah goa alami yang terjadi dan ada sejak dari dahulu. Oleh sebagian masyarakat, dahulu digunakan sebagai tempat untuk mengambil air minum namun saat ini pengambilan air minum di goa tersebut kurang diminati karena pada sebagian masyarakat telah membuat sumur sendiri dan ada juga yang telah menggunakan layanan PDAM. Sementara itu, berapa goa lainnya telah menjadi sarana bermain anak-anak sehingga beberapa goa tersebut tidak terpelihara dengan baik dan menjadi kotor.
Tugu Jepang
Tugu Jepang ini merupakan tugu peringatan pendaratan dan pendudukan tentara Jepang di daerah Manokwari. Namun saat ini Tugu Jepang yang merupakan saksi sejarah telah rusak akibat ulah orang yang tidak bertanggung jawab dan kurangnya perhatian dari instansi terkait terhadap situs-situs sejarah yang ada di daerah ini.
Mata Air
Sebagai kawasan hidro-orologis bagi masyarakat di kota Manokwari, kawasan TWA Gunung Meja memiliki fungsi yang penting. Tim penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari menemukan sedikitnya terdapat 23 mata air di kawasan ini yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan dan  menjadi alternative dalam mengambil air oleh mayarakat kota Manokwari di kala musim kemarau (Juni- Agustus).
Hutan Pendidikan
Di bagian Utara, dapat dijumpai beberapa petak tanaman kehutanan yang terpelihara dengan baik, kondisi tersebut sampai saat ini masih dapat terlihat. Hal ini disebabkan, petak tanaman tersebut merupakan hutan pendidikan yang masih dikelola dan dipelihara dengan baik oleh instansi terkait. Selain petak tersebut, pada bagian Timur telah dibuatkan areal plot monitoring sebagai kawasan penelitian/pendidikan  biodiversitas flora di Gunung Meja. Sebagai maksud dari pembuatan plot, untuk mengetahui keanekaragaman jenis, potensi dan menetapkan kawasan ini sebagai Areal Sumberdaya Genetik (ASDG) penyimpan maupun pengawetan keanekaragaman jenis baik flora dan ekosisemnya.


Hutan dan Pegunungan

Di kaki Gunung Meja Manokwari ada sebuah penginapan murah. Namanya Penginapan Kagum. Wisatawan asing suka menginap di situ karena disamping nyaman dan terjangkau harganya, penginapan ini dekat dengan lokasi hutan yang ingin mereka kunjungi. Hutan hujan tropis memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Papua. Hutan adalah lokasi untuk sumber makanan, kayu dan inspirasi seni. Di samping itu hutan berguna untuk menyerap CO2 yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas masyarakat dunia. Pohon-pohon tinggi di hutan Gunung Meja yang terletak di dekat kota telah lama menjadi rumah bagi burung-burung langka endemik Papua seperti Kakaktua Putih, Kakaktua Raja, Taun-taun. Bermacam-macam anggrek hidup pula di pepohonan yang hijau tersebut. Hutan di daerah pantai masih banyak didiami oleh satwa liar seperti soa-soa, ular, kuskus dan bermacam-macam burung kecil lainnya.
Tanaman-tanaman tropis baik yang memiliki khasiat sebagai obat ataupun yang menghasilkan buah-buahan banyak kita jumpai di hutan tersebut. Buah-buah ini merupakan sumber makanan utama bagi berbagai jenis binatang liar yang hidup di dalam hutan tropis Papua. Ketika kita berjalan menyusuri belantara hutan Gunung Meja, terutama di musim hujan, akan mudah sekali kita menjumpai jamur yang memiliki bentuk yang indah dan menawan. Bunga-bunga hutan merupakan penghias alam yang menyediakan nektar bagi kupu-kupu dan burung-burung kecil. Kali-kali kecil yang menuju ke laut adalah tempat hidupnya ikan, kepiting yang bentuknya unik. Perjalanan sepanjang lereng Gunung Meja merupakan sebuah pengalaman yang mengejutkan karena di beberapa tempat, masih nampak sisa-sisa terumbu karang purba yang hidup di daerah itu ribuan atau jutaan tahun yang lalu. Karena tekanan tektonik lapisan bumi maka tempat yang dulunya adalah dasar laut terangkat jauh dari permukaan laut hingga ratusan meter lalu membentuk Gunung Meja. Oleh karena itu, hutan gunung meja yang kaya akan spesies tumbuhan, serangga maupun hewan tidak hanya menjadi tempat yang ideal bagi pariwisata yang berorientasi lingkungan tetapi juga bagi tujuan-tujuan pendidikan. Ada beberapa tempat di kawasan ini yang memiliki gua alam. Gua-gua tersebut berada di daerah yang terpencil sehingga sangat sedikit sekali orang yang mengetahui tentang keberadaannya. Di dalam sana, kita bisa menjumpai kelelawar-kelelawar kecil, kadal dan serangga kecil.

 Kota Manokwari dan Masyarakatnya

Manokwari memanjang sesuai alur Teluk Dorey - tempat yang dijadikan oleh seorang peneliti alam Alfred Russel Wallace sebagai wilayah penelitian di tahun 1858. Kota yang dulu hanya berupa perkampungan kecil, kini telah berubah menjadi sebuah ibu kota Provinsi dengan perkembangan pembangunan yang pesat sekali. Di sini,  para wisatawan bisa bertemu dengan seniman-seniman yang memiliki talenta yang tinggi. Mereka menenun kain secara manual, membuat ukir-ukiran yang terbuat dari kayu, melukis pemandangan dan beraneka ragam satwa maupun tanaman Papua, serta menyuguhkan tari-tarian bergaya Pasifik yang indah dan menawan. Lagu-lagu tradisional Papua diputar oleh para sopir taksi, stasiun radio FM yang CDnya bisa dibeli di toko-toko kaset atau pasar. Pasar tradisional di Kota Manokwari ada dua buah yakni Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi.
 Di sini wisatawan bisa menikmati bermacam-macam buah yang diproduksi oleh petani-petani lokal. Terkadang binatang-binatang buruan seperti babi hutan, tikus tanah, dan daging rusa dijual oleh penduduk asli. Tempat para nelayan menjual ikan terletak beberapa puluh meter dari pasar induk. Di Malam hari, warung makan di pinggir jalan dan restoran menyediakan bermacam-macam makanan dari yang bergaya Papua hingga yang bercita rasa Jawa, Minahasa maupun Mandarin. Seafood tersedia di hampir semua restoran yang ada di kota ini.







Pantai, Pulau dan Terumbu Karang
Masyarakat kota Manokwari suka sekali berenang di Pantai Pasir Putih setiap hari Minggu atau hari-hari libur lainnya. Perjalanan ke pantai itu lamanya kurang lebih sepuluh menit dari kota. Di samping pantai pasir putih, ada juga pantai Amban yang menghadap lautan pasifik. Deburan ombak begitu kuat terdengar hingga kawasan hutan gunung meja. Di tengah-tengah Teluk Dorey terdapat tiga buah pulau, Mansinam, Lemon dan Raimuti. Pada tanggal 5 Februari 1855, dua orang Eropa mendarat di Pulau Mansinam untuk menyebarkan injil kepada penduduk asli Papua. Untuk menghormati kedua penginjil itu, sebuah monumen salib besar dibangun di sana. Teluk Dorey adalah kawasan penyelaman terumbu karang dan bangkai kapal yang sangat terkenal di Indonesia bahkan di dunia. Beberapa bangkai kapal besar dan kecil berbaring di dasar laut sekitar Pulau Mansinam dan Pulau Lemon serta Pantai Pasir Putih.













Daftar pustaka
Harijadi Bambang Tj dan M. J. Wajo, 1996. IdentifikasiJenis Burung Pada Kawasan TWA Gunung Meja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan).
Lasamahu, L. 1996. Survei Pengambilan Hasil Hutan dan Jenis Penggunaannya pada Hutan Wisata Gunung Meja. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari (tidak diterbitkan).
Potensi Biofisik Kawasan Hutan TWA Gunung Meja  Manokwari. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari 2006.
Warsito dan Oktovina Eryanan .2006. Prosiding. Ekspose Hasil-hasil Penelitian dan PameranIPTEK, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari, 18-19 April 2006.
Anonim. 2004. Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari. NRM. Manokwari.
 Anonim. 2008. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang TWA Gunung Meja Tahun 2009-2024, Balai Besar KSDA Papua Barat. Sorong.
 Leppe D dan Tokede MJ. 2008. Potensi Biofisik Taman Wisata Alam Gunung Meja. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar